Hentikan Penyelewengan Reforma Agraria

IMG_20180924_110358_595

SIARAN PERS YLBHI
Nomor: 247/SK-P/YLBHI/IX/2018

HENTIKAN PENYELEWENGAN REFORMA AGRARIA!

Memperingati Hari Tani Nasional, Indonesia dihadapkan pada kenyataan “hilangnya” satu KK petani setiap menit dari tanah pertanian. Hasil Sensus Pertanian BPS menunjukkan penurunan jumlah petani dari 31,17 juta Rumah Tangga Pertanian (RTP) pada tahun 2003 menjadi 26,13 juta RTP pada tahun 2013. Rata-rata 1 KK petani beralih dari kegiatan pertanian ke non-pertanian. Situasi ini memburuk karena pemerintah terus menggenjot pembangunan infrastruktur yang mengkonversi 400 ribuan hektar lahan pertanian tiap tahun. Ribuan konflik agraria pun tidak tersentuh. Sebagian di antaranya ditangani 15 kantor LBH Indonesia dengan jumlah luas lahan konflik 338.280 hektar.

Tiap memperingati Hari Tani Nasional, kita berharap cita-cita UUPA menghapuskan ketimpangan penguasaan lahan akan terwujud. Tetapi, 58 tahun berlalu dan amanat UUPA makin jauh ditinggalkan. Program Reforma Agraria yang dicanangkan pemerintah atas tanah seluas 9 juta hektar ternyata juga tidak menyentuh akar konflik agraria, yaitu perampasan tanah. Reforma agraria pemerintah mensyaratkan lahan-lahan yang hendak dibagikan sudah selesai dari konflik (clean and clear). Tidak ada cara baru. Konflik agraria struktural dan menahun dihadapi dengan cara birokrasi biasa. Persyaratan clean and clear ini mengakibatkan penyelesaian konflik agraria mandeg dan mangkrak seperti dahulu. Apalagi ribuan hektar tanah-tanah yang dikuasai PTPN dan Perhutani tidak menjadi obyek reforma agraria. Reforma Agraria memang bukan melulu soal konflik agraria, tetapi Reforma Agraria tidak mungkin dijalankan tanpa penyelesaian konflik agraria. Penyelesaian konflik adalah anak kandung Reforma Agraria. Artinya, program yang dijalankan sekarang bukanlah Reforma Agraria.

Pelaksanaan Reforma Agraria ternyata didanai dari hutang Bank Dunia sebesar 200 juta Dollar (2,9 Triliun). Uang hutang ini digunakan untuk program percepatan reforma agraria (pembuatan kebijakan satu peta) termasuk di dalamnya sertifikasi tanah dalam bentuk Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL). Kebijakan ini mengulang proyek Administrasi Pertanahan pada tahun 1990-an yang menjadikan tanah sebagai komoditas. Tanah diperjualbelikan, jadi alat mengakses kredit bank. Dalam prakteknya, PTSL justru melegitimasi penjarahan kembali tanah-tanah yang sudah direklaim/digarap kembali oleh petani sebagaimana terjadi di Pandanwangi, Lumajang, Jawa Timur.

Selain itu, sertifikasi lahan di atas tanah-tanah bebas konflik adalah pekerjaan administrasi rutin Kementerian ATR/BPN, sama sekali bukan Reforma Agraria. Reforma Agraria sejati menghendaki tanah negara diberikan kepada rakyat, bukan tanah rakyat yang disertifikatkan. YLBHI juga menyoroti sertifikasi tanah-tanah adat yang tidak lain adalah bentuk individualisasi tanah-tanah komunal yang mengancam keberadaan masyarakat adat.
Hari Tani seharusnya dirayakan petani dengan suka cita. Ketika pemerintah sibuk berkoar-koar tentang capaian sertifikasi tanah dan Perhutanan Sosial, ratusan petani dan masyarakat adat masih mendekam di penjara. YLBHI- LBH telah mendampingi tidak kurang dari 70 orang petani termasuk di dalamnya masyarakat adat yang dikriminalisasi di berbagai wilayah di Indonesia sepanjang tahun 2017 hingga sekarang, tersebar di Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur hingga Sulawesi Selatan.

Dua kasus di antaranya adalah kriminalisasi Pak Aziz dan Pak Rusmin, petani Desa Surokonto Wetan, Kabupaten Kendal. Kedua petani ini divonis hakim 8 tahun penjara dan denda 10 milyar. Perhutani melaporkannya ke polisi karena kedua petani ini bersama 400 warga desa yang lain menolak meninggalkan lahan garapan yang telah ditetapkan pemerintah sebagai kawasan hutan negara pada tahun 2014. Sebelum menjadi lahan hutan, lahan tersebut adalah perkebunan terlantar berstatus HGU PT. Sumurpitu yang ditukar guling dengan lahan Perhutani di Kabupaten Rembang yang digunakan untuk pabrik semen PT. Semen Indonesia. Kasus lain adalah Satumin, petani hutan di Desa Bayu, Kecamatan Songgon, Kabupaten Banyuwangi yang dipenjara dan tengah disidang PN Banyuwangi karena menggarap lahan Perhutani. Azis, Rusmin, dan Satumin dikenakan UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H). Dua orang masyarakat adat di Nagari Agam Sumatera Barat yang dipenjara di tanah ulayatnya (Pusaka Tinggi) sendiri akibat negara secara sewenang-wenang menetapkan fungsi kawasan hutan di atas tanah ulayat.

Konflik-konflik agraria semakin memanas ketika pemerintah justru membuat MOU penyertifikatan tanah-tanah TNI/Kemenhan. Padahal, konflik tanah antara masyarakat dengan militer menyebar di banyak daerah, utamanya Jawa Timur, dan belum terselesaikan. Sementara itu, Pemerintah tetap akan memaksakan keluarnya Perpres Reforma Agraria yang belum layak terbit karena sudah cacat secara nilai.

Menyikapi fakta-fakta di atas, YLBHI bersama 15 kantor LBH menyatakan sebagai berikut:

  1. Program Reforma Agraria yang dikoar-koarkan pemerintah adalah penyelewengan Reforma Agraria.
  2. Menuntut pemerintah menyelesaikan konflik-konflik agraria struktural yang diakibatkan pemberian izin/keputusan pemerintah dengan cara membatalkan izin/keputusan tersebut dan meredistribusikan lahan kepada masyarakat korban;
  3. Menolak pelaksanaan Reforma Agraria yang dibiayai dari hutang Bank Dunia;
  4. Menuntut dimasukkannya lahan-lahan PTPN dan Perhutani menjadi obyek TORA;
  5. Menuntut pemerintah menarik militer dan polisi dari lahan konflik agraria;
  6.  Menghentikan kriminalisasi petani/masyarakat adat/masyarakat lokal yang tengah berjuang menuntut haknya atau yang sedang menggarap lahan hutan untuk kehidupannya;
  7. Memberikan pemulihan kepada masyarakat yang terampas hak-haknya dalam bentuk grasi, amnesti, abolisi, kompensasi, dan rehabilitasi;
  8. Menuntut pemerintah mencabut UU P3H;
  9. Menyerukan kepada kaum tani untuk bersikap kritis dan mengkonsolidasikan diri mendongkrak Reforma Agraria Sejati.

Demikian Siaran Pers ini dibuat.

Jakarta, 23 September 2018
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dan 15 kantor LBH
Narahubung:
1. Arip Yogiawan (081214194445)
2. Era Purnama Sari (081210322745)
3. Siti Rakhma Mary Herwati (08122840995)

YLBHI
(LBH Aceh-LBH Medan-LBH Pekanbaru- LBH Padang-LBH Palembang-LBH Lampung- LBH Bandung-LBH Yogyakarta-LBH Semarang-LBH Jakarta-LBH Surabaya-LBH Bali-LBH Makasar-LBH Manado-LBH Papua)

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *