Extrajudicial Killing “Tembak di Tempat!”: Rantai Kematian di Tangan Polri

Siaran Pers YLBHI

Extrajudicial Killing “Tembak di Tempat!”: Rantai Kematian di Tangan Polri

Kejadian pembunuhan oleh polisi kepada warga sipil kembali terjadi. Korbannya saat ini pelajar di Semarang. Padahal beberapa hari belakangan, polisi tembak polisi terjadi di Polres Solok, Sumatera Barat. Peristiwa penembakan oleh polisi merupakan pelanggaran hukum pidana sekaligus pelanggaran disiplin bagi anggota Polri. Kasus penembakan aparat kepolisian di luar proses hukum adalah masalah yang menggunung. Sepanjang tahun 2019 – 2024, YLBHI mendata sekitar 35 peristiwa penembakan aparat kepolisian dengan jumlah korban tewas 94 orang. Sektor kasusnya membentang dari konflik kemanusiaan berkepanjangan di Papua, kasus narkotika, oposisi politik/kebijakan, hingga agraria. Polisi sering menggunakan upaya pembenaran untuk melakukan penembakan di tempat yang mengakibatkan kematian. Mulai dari melawan aparat dalam konteks penggerebekan bandar narkotika, hingga ‘di bawah pengaruh alkohol untuk kasus-kasus di Papua.

Tren penembakan polisi terbilang tinggi di lapangan, namun terdapat hambatan penegakan hukum dalam mengusut tuntas dan menyeret pelaku ke proses hukum. Dari laporan YLBHI menyebutkan terdapat 80% kasus yang tidak jelas kelanjutannya dan 9% kasus ditindaklanjuti hingga vonis dan 10% kasus terdapat tersangkanya tapi tidak jelas kelanjutannya (2018 – 2020). Kondisi faktual ini menunjukan komitmen kepolisian dalam mengusut tuntas dan menyeret pelaku penembakan polisi masih minim.

Dalam kasus penembakan pelajar SMK di Semarang, polisi berdalih bahwa penembakan itu dilakukan karena melerai tawuran. Dalih yang terkesan pembelaan terhadap perbuatan pelaku maupun menyalahkan korban seperti ini menjadi pola. Kasus di Semarang sebetulnya juga dibarengi dengan ditembaknya Beni (46) oleh Anggota Brimob Polda Bangka Belitung yang menjaga kebun PT BPL. Alasan kepolisian sama, polisi menembak Beni karena ada tindakan pidana yang dilakukan (mencuri buah sawit). Kita juga bisa belajar dari kasus Fredy Sambo. Di awal, polisi menyatakan bahwa penembakan diawali oleh Brigadir Josua menembak Fredy Sambo, namun dalam investigasi ternyata sebaliknya. Respon kepolisian dengan pola pembelaan ini menutup ruang investigasi dan menghambat penegakan hukum, di tengah rendahnya komitmen polisi dalam memproses penegakan hukum terhadap polisi yang melakukan penembakan.

Pasal 6 ayat (1) ICCPR yang telah diratifikasi dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 mengatur bahwa “Setiap manusia memiliki hak untuk hidup. Hak ini harus dilindungi oleh hukum. Sehingga tidak seorangpun diperbolehkan untuk secara sewenang-wenang atau gegabah merampas hak hidup orang lain.” Di pasal selanjutnya masih dalam payung hukum yang sama, diatur bahwa tidak seorangpun dapat dibenarkan untuk menjadi subjek perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat. Pasal 10, mengatur bahwa tidak seorang pun boleh ditangkap atau ditahan secara sewenang-wenang. Ketiga pasal ini fundamental dan disebut sebagai non-derogable rights (hak yang tidak dapat dikurangi). Sehingga, penembakan secara langsung atau penembakan atas dasar untuk mendapatkan pengakuan hingga berujung kematian merupakan pelanggaran terhadap pasal-pasal tersebut. Tidak peduli apapun alasan yang diutarakan. Sebab hal tersebut akan melawan prinsip praduga tak bersalah (presumption of innocent) yang merupakan sendi dari Negara Hukum.

Tingginya penembakan berujung kematian ini menjadi masalah serius dalam hal regulasi. Padahal penggunaan senjata harus disesuaikan dengan fungsi dan tugas yang diemban. Dalam aksi Peringatan Darurat Agustus 2024 #KawalPutusanMK, diduga kuat anggota kepolisian menggunakan senjata yang bisa mematikan padahal fungsi kepolisian dalam setiap aksi demonstrasi seharusnya adalah fungsi perlindungan sebagaimana termaktub dalam Pasal 13 ayat 3 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1998 Tentang Menyampaikan Pendapat di Muka Umum berbunyi “Dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum, Polri bertanggung jawab memberikan perlindungan terhadap pelaku atau peserta penyampaian pendapat di muka umum”. Meskipun dalam memberikan proteksi terhadap demonstran terbuka adanya tindak pidana yang bisa membahayakan nyawa orang lain atau anggota polisi namun perlu digaris bawahi bahwa penggunaan senjata api tidak seharusnya juga digunakan oleh setiap anggota kepolisian dan sektor satuan kerja.

Secara teknis kepolisian memang memiliki regulasi tentang penggunaan senjata dan anggota yang memegang senjata diseleksi secara ketat. Kita bisa melihat dalam Peraturan Polri No 1 Tahun 2022 tentang Perizinan, Pengawasan dan Pengendalian Senjata Api Standar Kepolisian Negara Republik Indonesia, Senjata Api Non Organik Kepolisian Negara Republik Indonesia/Tentara Nasional Indonesia, dan Peralatan Keamanan Yang Digolongkan Senjata Api. Namun regulasi ini tetap tidak menjawab bahwa peluang polisi menyalahgunakan penggunaan senjata tidak sesuai fungsi dan tugasnya sangat besar juga. Pembatasan membawa senjata api aparat kepolisian tidak diregulasi secara ketat.

Berdasarkan uraian di atas, maka YLBHI mendesak:

1. Presiden dan DPR segera melakukan reformasi di tubuh kepolisian terkait kewenangan kepolisian minim pengawasan dan secara spesifik skema penggunaan senjata;

2. Pemerintah dan DPR untuk segera meratifikasi Protokol Opsional untuk Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia.

3. Mendesak Komnas HAM untuk melakukan audit institusi Polri terhadap kewenangan polisi membawa senjata api.

4. Kepala Polri mengusut tuntas kasus-kasus penembakan oleh polisi dan menyeret pelaku di hadapan pengadilan serta membuka proses hukumnya kepada publik;

Jakarta, 26 November 2024

Pengurus YLBHI

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *