Tidak Berhenti Di Amnesti Massal: Evaluasi Regulasi Overdosis Kriminalisasi

Evaluasi Regulasi Overdosis Kriminalisasi

SIARAN PERS YLBHI
Tidak Berhenti Di Amnesti Massal: Evaluasi Regulasi Overdosis Kriminalisasi

Dalam waktu dekat pemerintah bidang hukum, hak asasi manusia, imigrasi dan pemasyarakatan akan menerapkan amnesti terhadap 44.000 warga binaan pemasyarakatan. Amnesti dalam pengertian harfiah adalah pengampunan hukuman dan secara teknis memerlukan pertimbangan DPR meski secara prerogatif, Presiden menentukan apakah akan dikabulkan atau tidak permohonan amnesti.

Presiden Indonesia terdahulu pernah memberikan amnesti diantaranya Baiq Nuril, terpidana kasus ITE dan juga Presiden BJ. Habibie untuk kasus-kasus jaman orde baru. Pemberian amnesti sejauh ini memang tidak jelas prosedur dan tata caranya, berbeda dengan permohonan grasi yang tampak khusus diberikan pengaturan melalui undang-undang tentang grasi yang komprehensif dimulai persyaratan, tata cara dan jangka waktu. Kendati regulasi soal amnesti masih minim dan usang tapi pemberian amnesti merupakan pilihan politik yang muatannya mengutamakan pemulihan dan rekonsiliasi. Sehingga di tahap implementasi Presiden memilih dan memilah siapa saja pihak yang akan diajukan amnesti.

Berdasarkan keterangan resmi pemerintah, 44.000 orang warga binaan pemasyarakatan akan diberikan amnesti terhadap mereka yang terlibat kasus narkotika, kasus konflik Papua, kasus kriminalisasi kebebasan berekspresi. Pemberian amnesti ini didasari juga dengan pertimbangan kemanusiaan dan alasan kesehatan. Terkait dengan pemberian amnesti ini, YLBHI menilai bahwa amnesti massal ini berpeluang mengikutsertakan pelaku korupsi yang harta kekayaannya tidak diungkap atau dirampas akibat tidak disahkannya regulasi tentang perampasan aset. Sehingga amnesti massal ini harus dilakukan secara teliti dengan menuntaskan akar persoalan yang mengakibatkan lembaga pemasyarakatan overcrowding hampir 100% dan didominasi sebanyak 52% merupakan populasi kasus narkotika diantaranya:

1. Reformasi kebijakan hukum menyangkut undang-undang narkotika yang sangat punitif terhadap pengguna narkotika dengan jumlah kepemilikan narkotika sedikit. Terlebih undang-undang narkotika saat ini tumpang tindih membedakan antara pengguna dan pengedar, sehingga menutup peluang untuk mendapatkan pemulihan kesehatan bagi kelompok pengguna narkotika. Di lain pihak kepolisian dalam menangani kasus narkotika memiliki rentang kewenangan yang luas dan determinan sehingga membuka ruang pendekatan non pidana menjadi tertutup dengan dalih penegakan hukum;

2. Kebebasan berekspresi dengan ancaman kriminalisasi yang termaktub dalam UU ITE maupun di luar UU ITE merupakan regulasi yang membahayakan iklim demokrasi. Di samping itu tindakan kepolisian dalam menangani kasus kebebasan berekspresi diyakini menebar ketakutan bagi masyarakat untuk bersuara kritis padahal tugas kepolisian justru melindungi orang-orang untuk bebas menyampaikan pendapat. Pada sisi lain tindakan kepolisian di berbagai penanganan kasus kebebasan berekspresi seringkali menggunakan kekuatan yang berlebih (excesive use force) yang menunjukan bahwa institusi kepolisian tidak adaptif dengan era kebebasan berekspresi sebagai buah reformasi;

3. Kriminalisasi terhadap orang-orang di kasus Papua perlu dilihat konteks lebih luas terkait menyuarakan pelanggaran hak asasi manusia dan kerusakan lingkungan yang marak terjadi di Papua. Di tahap ini penyelesaian kasus Papua dengan amnesti tanpa menyelesaikan persoalan lingkungan dan hak asasi manusia di Papua merupakan kebijakan jangka pendek tanpa solusi;

Di samping itu rencana pelibatan dalam Komando Cadangan (Komcad) terhadap penerima amnesti selain tidak memiliki dasar hukum yang jelas, sangat bertentangan dengan alasan pemerintah memberikan amnesti yaitu alasan kesehatan yang potensial menggerus hak atas kesehatannya. Di samping itu juga evaluasi kewenangan kepolisian yang berkonstribusi terhadap meningkatnya populasi Lapas dari aspek hukum narkotika dan penggunaan ancaman kriminalisasi dalam kasus kebebasan berekspresi secara damai dan kasus kebebasan berekspresi dalam konteks Papua. Berdasarkan hal tersebut YLBHI mendesak:

1. Pemberian amnesti massal oleh Presiden dilakukan secara teliti dengan pengecualian terhadap kasus korupsi dan tidak dilibatkan dalam Komcad;

2. Menghapus pasal-pasal karet yang bermuatan kriminalisasi dalam Undang-undang Narkotika, UU ITE dan KUHP;

3. Menghentikan penangkapan dan pemidanaan terhadap orang-orang yang berkekspresi dan demonstran serta pengguna narkotika, termasuk menyelesaikan konflik Papua dengan damai;

4. Evaluasi kewenangan kepolisian yang determinan dalam sistem peradilan pidana di tengah minus pengawasan.

Jakarta, 16 Desember 2024
Hormat kami,
Pengurus YLBHI

Muhamad Isnur & Afif Abdul Qoyim

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *