Massa intoleransi kembali menghancurkan sendi-sendi keberagaman dan kebhinekaan anak bangsa di negeri ini. Pembubaran terhadap pelaksanaan dialog keagamaan ?Membedah Beragam Varian teks-teks Al-Kitab & Alquran? di Wisma Keuskupan Jalan WR Supratman Nomor 4 Surabaya pada tanggal 11 Juni 2013, tidak boleh dianggap sepele oleh pihak kepolisian.
Peristiwa pembubaran tersebut jika saja tidak disikapi serius oleh pihak kepolisian, dikhawatirkan bisa merembet ke persoalan-persoalan lain yang bisa merusak toleransi antar umat beragama di Surabaya.
Pihak kepolisian juga harus bersifat profesional untuk menindak pelaku-pelaku intoleran tersebut dan jangan sampai kepolisian justru dipecundangi oleh pelaku-pelaku intoleran tersebut dengan mengkriminalkan panitia kegiatan tersebut.
Dalam prinsip kebebasan berekspresi, sesuatu dianggap mengganggu jika berpotensi mengurangi hak-hak dasar orang lain. Boleh saja para pelaku intoleran melakukan kritik karena itu bagian hak berekspresi, tapi melakukan pembubaran karena tidak suka atas dasar perbedaan bahkan sampai mengancam dan menyaikiti, maka hal ini tidak bisa dibiarkan.
Berdasarkan fakta yang terjadi di lokasi, bahwa pelaku intoleransi masuk ke lokasi kegiatan dengan arogansi, dan kemudian menyita makalah untuk peserta, membentak, memaki dan memaksa panitia ke kantor polisi.
Yayasan LBH Indonesia (YLBHI) mempertanyakan kinerja kepolisian yang untuk kesekian kalinya, yang hanya diam di depan pelaku intoleran dan mengikuti kemauan pelaku-pelaku intoleran tersebut.
Bahkan yang menjadi ironi adalah pihak kepolisian membawa panitia ke Mapolrestabes Surabaya dengan menggunakan mobil kepolisian dengan dikawal oleh pelaku-pelaku intoleran.
Negara berdasarkan konstitusi memberi jaminan kepada siapapun warganya untuk melakukan apa saja sepanjang tidak melanggar hukum dan tidak mengurangi/mengganggu/merugikan hak-hak dasar orang lain.
Namun, aneh jika aparat Negara justru tidak melindungi warganya dalam meng-aktualisasikan kebebasannya dalam bentuk dialog. Perlindungan dalam hal ini tentunya perlindungan atas ancaman dari kelompok-kelompok yang cenderung mengoyak kehidupan berbangsa dan bernegara dengan mengatasnamakan agama.
Kepolisian dan pemerintah seharusnya bisa proaktif dalam mengantisipasi kelompok-kelompok intoleran yang berpotensi memecah belah kebhinekaan bangsa Indonesia. Buat apa Negara mempunyai aparat jika kelompok-kelompok intoleran tersebut tidak diambil tindakan yang tegas sesuai dengan hukum yang berlaku, karena Indonesia merupakan Negara hukum.
Demikian Badan Pengurus YLBHI, Moch. Ainul Yaqin, SHI, Koord. Bidang Sipil Politik kepada formatnews, pekan ini.
Sumber : formatnews.com