Sejumlah LSM di Indonesia mengritik kebijakan pemerintah Australia yang mengalihkan para pencari suaka yang datang menggunakan perahu, ke Papua Nugini (PNG) atau Nauru.
Kritik itu disampaikan oleh Suaka, sebuah jaringan yang memperjuangkan hak-hak pengungsi, yang beranggotakan antara lain LBH Jakarta, Human Rights Working Group (HRWG), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), serta sejumlah organisasi dan individu lain. Juru Bicara Suaka, Febi Yonesta, mengatakan bahwa pemerintah Australia telah mengeluarkan kebijakan yang sangat berpotensi akan mengancam kehidupan dan hak asasi manusia (HAM) para pencari suaka.
“Hal ini ditunjukkan dalam pernyataan pemerintah Australia bahwa kebijakan terbarunya dalam menghadapi pencari suaka merupakan keberhasilan,” kata Febi, dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (14/8).
“Keberhasilan dalam hal ini harus dimaknai sebagai keberhasilan melanggar hak asasi para pencari suaka; berhasil semakin membahayakan nasib mereka yang gagal dilindungi oleh negara asalnya,” sambungnya, sambil menambahkan bahwa kebijakan yang diambil juga mendiskriminasi karena hanya berlaku bagi pencari suaka yang datang melalui perahu atau kapal laut.
Seperti diberitakan banyak media, kata Febi, Pemerintah Australia mengambil kebijakan bahwa pencari suaka yang ingin mencari perlindungan ke Australia melalui perahu akan diarahkan menuju PNG atau Nauru. Selanjutnya, para pencari suaka itu akan diproses, dan apabila berhasil mendapat status pengungsi, akan seterusnya menetap di PNG atau Nauru.
“Kebijakan ini melanggar prinsip universalitas HAM yang mengatur bahwa HAM berlaku untuk siapa pun, kapan pun dan di mana pun,” tandasnya.
Lebih lanjut, sebagai negara anggota Konvensi PBB 1951 mengenai Status Pengungsi, pemerintah Australia menurut Febi, telah berkomitmen dan berkewajiban untuk melindungi hak-hak pencari suaka yang memasuki wilayahnya tanpa mendiskriminasi. Maka, dengan kebijakan baru itu, ada kesengajaan pemerintah Australia untuk mengurangi komitmennya melaksanakan Konvensi 1951 tersebut.
Dari data yang dipublikasikan Departemen Imigrasi Australia, sejak September 2012 hingga Maret 2013, rata-rata 89,4 persen dari pencari suaka yang memasuki wilayah Australia melalui laut memenuhi elemen pengungsi, sebagaimana diatur dalam Konvensi Pengungsi. Sementara yang melalui udara hanya 54,7 persen yang memenuhi elemen pengungsi.
Hal ini berarti bahwa mayoritas pencari suaka yang menggunakan perahu menghadapi situasi yang sedemikian membahayakan mereka, sehingga terpaksa meninggalkan negaranya karena menghadapi persekusi berdasarkan ras, agama, kewarganegaraan, atau keanggotaan pada kelompok sosial atau politik tertentu.
“Kebijakan yang diambil pemerintah Australia berpotensi (justru0 semakin membahayakan para pengungsi,” kata Febi pula. “Seandainya mereka memiliki pilihan lain, tentunya para pencari suaka akan memilih jalur udara, tidak akan memilih jalur air menggunakan perahu yang sering kali kondisinya tidak manusiawi,” sambungnya.
Selain itu, Febi menambahkan, pemerintah Australia secara sadar telah menempatkan para pengungsi di negara dengan kondisi yang jauh lebih buruk dibandingkan Australia. Berdasarkan Indeks Pembangunan yang disusun UNDP yang menilai pendapatan per kapita nasional, ketersediaan pendidikan dan harapan hidup rata-rata, Australia menduduki peringkat 2, sementara PNG hanya berada di peringkat 156.
PNG saat ini belum memiliki kapasitas dan keahlian nasional untuk menerima pengungsi, serta masih memberlakukan penahanan bagi pencari suaka. Selain itu, sebanyak 50 persen perempuan di PNG menjadi korban perkosaan, sementara fasilitas penampungan pencari suaka di Pulau Manus juga kerap dikritik karena kondisinya yang tak melindungi HAM, kesehatan dan kesejahteraan pencari suaka.
Nauru juga tidak memiliki kondisi yang lebih baik dibandingkan PNG. Buktinya, baru-baru ini para pencari suaka di Nauru melakukan kerusuhan di tempat penahanan, yang menunjukkan tidak nyamannya fasilitas yang disediakan untuk mereka. Kejadian ini juga memperburuk pandangan negatif penduduk setempat terhadap pencari suaka. Selain itu, Nauru juga sedang berjuang mengatasi tingginya tingkat pengangguran, sehingga tak memungkinkan untuk menampung pengungsi menetap di sana.
“Untuk itu, Suaka mendesak agar pemerintah Australia membatalkan MoU yang ditandatangani dengan Papua Nugini dan Nauru, dan mencabut kebijakan yang mengalihkan para pencari suaka yang datang dengan perahu ke Papua Nugini atau Nauru,” tegas Febi.
Sumber : beritasatu.com