Pernyataan Pers Bersama
JOKOWI HARUS GANTI JAKSA AGUNG!
– HM Prasetyo gagal menegakkan HAM dan memberantas korupsi –
Bulan Oktober 2015, pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK) telah memasuki tahun pertamanya. Salah satu agenda penting yang harus dilakukan adalah melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap kinerja jajaran menteri atau pejabat lembaga negara dalam Kabinet Kerja Pemerintahan Jokowi-JK.
Salah satu jajaran dalam Kabinet Kerja Jokowi-JK yang penting untuk dievaluasi adalah Jaksa Agung, HM Prasetyo. Dalam upaya penegakan hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) serta pemberantasan korupsi, peran dari HM Prasetyo, selaku Jaksa Agung sangatlah penting. Jaksa Agung merupakan ujung tombak bagi agenda bidang penegakan hukum, HAM dan pemberantasan korupsi dari pemerintahan Jokowi-JK. Pada ketiga bidang tersebut, kinerja Jaksa Agung merupakan cermin dari kinerja pemerintah. Jika kinerja Jaksa Agung buruk maka akan berdampak serius pada menurunnya kepercayaan publik terhadap Pemerintahan Jokowi. Begitu juga sebaliknya, citra pemerintah akan menjadi positif dimata publik apabila kinerja Jaksa Agung juga baik dan memuaskan.
Sebelum melakukan evaluasi kinerja Kejaksaan, hal yang penting untuk dikritisi diawal adalah langkah Jokowi dalam pemilihan Jaksa Agung. Penunjukkan HM Prasetyo sebagai Jaksa Agung dinilai kontroversial karena banyak menuai protes dari sejumlah kalangan. Jokowi dianggap ingkar janji karena pernah menyatakan tidak akan memilih figur Jaksa Agung yang berasal dari politisi partai politik. Namun faktanya justru sebaliknya Jokowi menunjuk dan melantik HM Prasetyo, politisi Partai Nasdem sebagai Jaksa Agung.
Muncul kesan pemilihan Jaksa Agung sebagai upaya bagi-bagi kursi kepada Partai Politik yanng mendukung Jokowi dalam Pemilihan Umum 2014 lalu. Mekanisme pemilihan Jaksa Agung juga dianggap menyimpangi NawaCita karena tidak melibatkan KPK dan PPATK sebagaimana Jokowi menseleksi kandidat menterinya. Padahal masih banyak figur-figur lain yang lebih bersih, berani dan berprestasi yang dianggap layak menjadi Jaksa Agung.
Selain soal mekanisme proses seleksi yang diskriminatif dan sarat kepentingan politik, banyak pihak yang meragukan soal independensi, keberanian, integritas dan prestasi dari HM Prasetyo. Undang Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan pada intinya menyebutkan Kejaksaan adalah kekuasaan merdeka yang terbebas dari pengaruh kekuasaan. Termasuk dalam hal ini pengaruh partai politik. Latar belakang HM Prasetyo sebagai politisi menimbulkan kekhawatiran antara lain: 1) independensi institusi Kejaksaan. Kejaksaan rawan adanya intervensi politik atau tersandera kepentingan politik; 2) Loyalitas ganda. Selain loyal kepada Presiden, Jaksa Agung yang berasal dari Parpol diduga juga akan loyal kepada Pimpinan Partai dimana dia pernah bergabung.
Meski mengecewakan, faktanya Presiden Jokowi pada awal pemerintahannya telah menunjuk HM Prasetyo sebagai Jaksa Agung. Untuk memberikan masukan bagi Presiden Jokowi, Koalisi Masyarakat Sipil memberikan catatan kritis terhadap kinerja Kejaksaan dibawah Jaksa Agung HM Prasetyo khususnya kinerja di bidang penegakan hukum, HAM dan pemberantasan korupsi.
Penegakan Hukum dan HAM
Berdasarkan pemantauan KontraS setidaknya ditemukan 3 (tiga) persoalan yang menunjukkan Kejaksaan dibawah kepemimpinan Jaksa Agung HM Prasetyo gagal menjalankan fungsinya dalam upaya penegakan hukum dan HAM. Pertama, penyidikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang tidak dilakukan oleh Jaksa Agung. Selama 13 tahun (2002-2015), Jaksa Agung tidak pernah mau melakukan penyidikan atas 7 berkas perkara pelanggaran HAM berat yang telah selesai diselidiki oleh Komnas HAM. Jaksa Agung selalu mengembalikan berkas penyelidikan Komnas HAM dengan berbagai macam alasan yang berubah-ubah, dan alasan yang digunakan bertentangan dengan sejumlah undang-undang serta putusan Mahkamah Konstitusi.
Kedua, Jaksa Agung HM Prasetyo melakukan penyalahgunaan wewenang dengan membentuk tim kasus masa lalu untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat melalui rekonsiliasi atau proses penyelesaian di luar hukum. Tindakan Jaksa Agung tersebut bertentangan dengan tugas dan wewenang Kejaksaan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI jo. Pasal 21 ayat (1) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Selain itu, HM Prasetyo juga melanggar sumpah Jaksa Agung untuk “senantiasa menegakkan hukum dan keadilan”.
Ketiga, inkonsistensi penegakan hukum dengan terus dilakukannya penerapan pidana mati terhadap terpidana kasus narkotika oleh Kejaksaan Agung. Hal ini tentunya telah mengesampingkan prinsip supremasi hukum di Indonesia. Berkaca pada kasus eksekusi mati gelombang I dan II yang telah dilakukan Januari dan April 2015 lalu, tidak ada mekanisme koreksi dan ruang evaluasi yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung seperti misalnya terkait dengan ruang transparan bagi terpidana mati, tim kuasa hukum maupun publik untuk mendapatkan keterangan yang valid tentang proses hukum dari ke-16 terpidana mati tersebut.
Ke empat, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, Pasal 30 ayat (1) huruf e UU Nomor 16 Tahun 2004 mengatur bahwa setelah P-21 , Penuntut umum dalam rangka melakukan penentuan sikap atas suatu berkas perkara sebenarnya mempunyai wewenang untuk melakukan suatu pemeriksan tambahan atas hasil penyidikan. Tujuan dari adanya pemeriksaan tambahan ialah agar memastikan bahwa penyidikan yang dilakukan oleh penyidik telah dilakukan sesuai hukum dan mempunyai kekuatan pembuktian yang cukup untuk membuktikan di persidangan.
Dalam monitoring KontraS, Kejaksaan Agung tidak pernah memberikan akses hukum yang adil bagi terpidana mati, seperti tidak adanya akses hukum yang memadai bagi terpidana, termasuk akses bantuan hukum bagi terpidana miskin, tidak diberikannya penterjemah tersumpah khususnya bagi terpidana yang merupakan warga Negara asing, keterlambatan menginformasikan pihak Kedutaan Besar, hingga mengeksekusi mati terpidana yang mengalami kelainan jiwa. Inkonsistensi Kejaksaan Agung juga dibuktikan dengan minimnya informasi tentang pelaksaan eksekusi mati yang diberikan terhadap terpidana mati dan kuasa hukumnya sehingga berakibat pada peliknya proses hukum yang tengah diproses oleh setiap terpidana, baik melalui Peninjauan Kembali [PK], uji materil konsep grasi dan upaya-upaya hukum lainnya yang masih potensial dilakukan oleh seluruh terpidana mati.
Melegitimasi Kriminalisasi
YLBHI bersama Koalisi Masyarakat Sipil Anti-Kriminalisasi (TAKTIS), berkesimpulan bahwa Jaksa Agung sejatinya memiliki peran sentral atas kriminalisasi terhadap puluhan orang. Tercatat, Kriminalisasi bermula pasca penetapan Komjen BG sebagai tersangka dugaan tindak pidana korupsi pada 13 Januari 2015, ada 49 orang diperiksa, ditangkap, ditahan, ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri, sebagai urutan peristiwa yang saling terkait dan terstruktur. Kriminalisasi dilakukan terhadap lembaga KPK, Komisi Yudisial, Komnas HAM para Dosen, Mantan Hakim Agung serta pegiat/aktivis antikorupsi, secepat kilat setelah ke-49 orang tersebut merespon, mengkritik, dan menyoroti penetapan Komjen BG sebagai tersangka dugaan tindak pidana korupsi. Sebut saja, nama-nama seperti Bambang Widjojanto, Abraham Samad, Denny Indrayana, Tempo (media massa), Suparman Marzuki, Taufiqqurohman Syahuri, Direktur bidang KPK, dll. Apa kaitannya kriminalisasi ini dengan Jaksa Agung? Paling tidak ada alasan nyata bahwa Kejaksaan di bawah Jaksa Agung memiliki peran signifikan untuk “mengendalikan” perkara sejak awal pemeriksaan oleh kepolisian.
Pertama, kewenangan “penuntutan” dikaitkan dengan peran Kejaksaan dalam sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system), harus didefinisikan sebagai Dominus Litis (procuruer die de procesvoering vastselat) yaitu pengendalian proses perkara dari tahapan awal penyidikan sampai dengan pelaksanaan proses eksekusi suatu putusan. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XII/2013 telah menegaskan penerapan asas Dominus Litis oleh Kejaksaan. Kendati sekalipun KUHAP menganut prinsip diferensiasi fungsional, asas dominus litis yang dimiliki oleh kejaksaan pada tahap penyidikan tidak serta merta hilang, Kejaksaan RI tetap mempunyai suatu wewenang untuk melakukan pengawasan secara horizontal terhadap penyidikan yang bertujuan tidak terjadi penyalahgunaan wewenang oleh aparat penegak hukum yang berpotensi melanggar hak asasi manusia sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUU-V/2007 yang menyebutkan bahwa konsep diferensiasi fungsional dalam KUHAP dimaksudkan agar setiap aparat hukum memahami ruang lingkup serta batas wewenangnya dan ditujukan untuk menciptakan mekanisme saling mengawasi secara horizontal antara penegak hukum sehingga pelaksanaan wewenang dapat terlaksana dengan efektif dan serasi, sehingga dapat mencegah penyalahgunaan wewenang oleh aparat penegak hukum yang berpotensi melanggar hak asasi manusia.
Ke dua, Pasal 11 Guidelines on the role of Prosecutors yang juga diadopsi oleh Eight United Nation Congress on The Prevention of Crime dalam Kongres Pencegahan Kejahatan ke-8 di Havana pada tahun 1990, di mana Republik Indonesia telah menjadi bagian dalam kongres tersebut. Yang menyatakan bahwa,” “jaksa harus melakukan peran aktif dalam proses penanganan perkara pidana termasuk melakukan penuntutan jika diijinkan oleh hukum setempat, berperan aktif dalam penyidikan, pengawasan terhadap keabsahan penyidikan tersebut, mengawasi pelaksanaan putusan pengadilan dan menjalankan fungsi lain sebagai wakil kepentingan umum”.
Ke tiga, KUHAP sudah mengatur peran signifikan Kejaksaan sejak awal pemeriksaan. Pasal 109 ayat (1) KUHAP, menyatakan bahwa, “Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum.” Koordinasi fungsional antara penyidik dan penuntut umum dalam tahap penyidikan (pelaksanaan tahapan prapenuntutan) dimulai dengan adanya pemberitahuan telah dimulainya penyidikan oleh penyidik kepada penuntut umum yang ditandai dengan diterbitkannya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) oleh penyidik kepada penuntut umum. Secara otomatis penuntut umum mempunyai suatu kewenangan untuk dapat melakukan penelitian atas jalannya penyidikan, untuk mengetahu secara detil seluk beluk pemeriksaan perkara.
Ke empat, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, Pasal 30 ayat (1) huruf e UU Nomor 16 Tahun 2004 mengatur bahwa setelah P-21 , Penuntut umum dalam rangka melakukan penentuan sikap atas suatu berkas perkara sebenarnya mempunyai wewenang untuk melakukan suatu pemeriksan tambahan atas hasil penyidikan. Tujuan dari adanya pemeriksaan tambahan ialah agar memastikan bahwa penyidikan yang dilakukan oleh penyidik telah dilakukan sesuai hukum dan mempunyai kekuatan pembuktian yang cukup untuk membuktikkan di persidangan.
Ke lima, Peraturan Jaksa Agung Nomor Per-36/A/JA/09/2011 Tentang Standar Operasional Prosedur Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum (“Perja 36 Tahun 2011”), ada beberapa ketentuan yang memberikan kewenangan signifikan bagi kejaksaan, yakni:
1) Pasal 1 angka 4 yaitu sebagai tindakan penuntut umum untuk mengikuti perkembangan penyidikan setelah menerima pemberitahuan dimulainya penyidikan dari penyidik, mempelajari atau meneliti kelengkapan berkas perkara hasil penyidikan yang diterima dari penyidik serta memberikan petunjuk guna dilengkapi oleh penyidik untuk dapat menentukan apakah berkas perkara tersebut lengkap atau tidak;
2) Pasal 9 menyatakan bahwa Kejaksaan setelah menerima SPDP wajib menunjuk Jaksa Penuntut Umum untuk mengikuti perkembangan penyidikan (P-16 yakni Surat Perintah Penunjukkan Jaksa Penuntut Umum untuk Mengikuti Perkembangan Penyidikan Perkara Tindak Pidana berdasarkan Keputusan Jaksa Agung RI No. 518/A/J.A/11/2001);
3) Pasal 10 ayat (1) dan (2) menyatakan bahwa Jaksa lidik (Penuntut Umum) harus sedini mungkin melakukan koordinasi dengan penyidik dalam bentuk memberikan konsultasi, petunjuk, arahan akan perkara tersebut;
4) Pasal 10 ayat (6) menyatakan dengan tegas bahwa Penuntut Umumbertanggung jawab terhadap pelaksanaan koordinasi penanganan perkara.
Sebagaimana diketahui publik, untuk kasus Bambang Widjojanto, per 19 September 2015 telah dilakukan penyerahan tahap 2 dari P-21 kepada Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, dan kasus Abraham Samad, pada 22 September 2015 diserahkan ke Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan. Tanpa ada proses apapun yang lebih detil atau lanjut dari kejaksaan. Padahal kewenangan kejaksaan sangat besar dan signifikan, sejak awal pemeriksaan perkara meskipun tidak dapat memutuskan, namun dapat langsung meenyatakan sikap tegas setelah masuk dalam kewenangannya untuk memutuskan. Misalnya, dalam tahap P-19 untuk mengembalikan berkas hingga masa SPDP harus dikembalikan, atau menyatakan P-21 lalu seketika memutuskan SKPP dalam Pasal 140 ayat (2) KUHAP.
Pada kesimpulannya, Jaksa Agung yang membawahi Kejaksaan Agung dalam kasus-kasus kriminalisasi terhadap terhadap lembaga KPK, Komisi Yudisial, Komnas HAM para Dosen, Mantan Hakim Agung serta pegiat/aktivis antikorupsi, telah lalai menjalankan perannya dan justru jelas terlihat memberikan legitimasi atas kriminalisasi
Pemberantasan Korupsi
Dalam catatan Indonesia Corruption Watchkinerja jajaran kejaksaan dibawah Jaksa Agung HM Prasetyo dalam upaya pemberantasan korupsi dan reformasi birokrasi di internal Kejaksaan sangat tidak memuaskan. Penilaian ketidakpuasan ini didasari pada sejumlah indikator.
Pertama, tidak terpenuhinya pencapaian pelaksanaan Strategi Nasional Percepatan Pemberantasan Korupsi (Stranas PPK) yang tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi 2015.Dari 17 poin atau pekerjaan rumah dalam Stranas PPK yang berkaitan langsung dengan kerja Kejaksaan Republik Indonesia, dalam pantauan ICW belum ada poin dalam Stranas PPK yang dipenuhi secara memuaskkan oleh Kejaksaan Republik Indonesia. Mayoritas atau 12 pekerjaan rumah Kejaksaan dalam pelaksanaan Inpres 7 Tahun 2015 adalah dalam status belum sepenuhnya berjalan. Sebanyak 5 pekerjaan lainnya tidak jelas perkembangannya (Terlampir).
Dalam poin-poin pada Stranas PPK 2015, terlihat jelas bahwa Pemerintahan Jokowi-JK berorientasi pada pencegahan dan pembenahan sistem, termasuk untuk Kejaksaan Republik Indonesia. Dalam konteks ini, perbaikan sistem berbasis teknologi informasi menjadi sangat krusial untuk Kejaksaan Republik Indonesia, namun platform berbasis teknologi informasi yang ada di laman resmi Kejaksaan Agung sekarang, sesungguhnya sudah dikembangkan sejak sebelum era kepemimpinan Jaksa Agung HM. Prasetyo.
Kedua, tunggakan eksekusi Aset Yayasan Supersemar dan Piutang Uang Pengganti Hasil Korupsi. Putusan Mahkamah Agung terkait perkara perdata Aset Yayasan Supersemar milik keluarga Soeharto sudah keluar sejak September 2015, namun hingga saat ini eksekusi atas aset Yayasan Supersemar sebesar Rp 4,4 triliun belum juga dilakukan. Selain itu, bedasarkan data BPK tahun 2014, Kejaksaan Republik Indonesia masih memiliki piutang uang pengganti sebesar Rp11.880.833.623.374,80, US$ 215,762,042.30, dan Sin$ 34,951.6 yang belum dieksekusi dari putusan uang pengganti perkara tindak pidana korupsi. Padahal dalam Inpres 7 Tahun 2015, kejaksaan memiliki target tersetorkannya minimal 80% uang pengganti dari perkara tindak pidana korupsi yang diputus oleh pengadilan (inkcraht) ke kas negara.
Ketiga, kerja jajaran kejaksaan dan Satgassus Kejaksaan Agung tidak maksimal dalam penanganan perkara korupsi. Di awal pembentukannya, Satuan Tugas Khusus Penanganan Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Korupsi (Satgassus Tipikor) diliputi harapan besar sebagai tandem KPK dalam menyelesaikan penanganan perkara korupsi. Berdasarkan penelusuran media, per April 2015, Satgassus Kejaksaan Agung mengklaim telah menyidik 102 kasus korupsi, baik dari perkara mangkrak pada 2014 maupun perkara baru tahun 2015.
Namun jumlah yang disampaikan tersebut terkesan masih sebatas pencapaian secara kuantitas karena secara kualitas tidak banyak perkara korupsi high profile yang berhasil digarap Satgassus Tipikor ini. Belum ada satupun perkara korupsi kakap yang dihentikan (SP3) kemudian dibuka kembali oleh Kejaksaan. Beberapa perkara yang digadang-gadang akan diselesaikan oleh tim ini adalah korupsi UPS DKI Jakarta, namun perkembangan penanganan perkara tersebut belum juga tuntas hingga sekarang. Penanganan kasus korupsi penyalahgunaan dana Bansos di Provinsi Sumatera Utara justru menjadi tidak jelas sejak ditangani oleh Kejaksaan Agung karena tidak ada satupun tersangka yang ditetapkan dalam perkara ini. Adapun perkara korupsi yang berhasil diselesaikan oleh Satgassus Tipikor ini, sebagian besar merupakan perkara korupsi di tingkat daerah, dan salah satu yang menarik perhatian publik adalah perkara korupsi Trans Jakarta yang menjerat Udar Pristono, mantan Kadis Perhubungan DKI Jakarta.
Langkah penyidikan Kejaksaan kandas dalam dua sidang pra peradilan yang diajukan oleh Dahlan Iskan dan Victoria Securities Indonesia. Pada tahun 2015, Kejaksaan menghentikan kasus korupsi kakap seperti kasus pengadaan 5 Unit mobil pemadam kebakaran (damkar) di PT Angkasa Pura senilai Rp 63 miliar, kasus dana hibah APBD Bantul yang melibatkan Idham Samawi, politisi PDI P dan kasus kepemilikan “rekening gendut” 10 kepala daerah berdasarkan temuan PPATK akhir 2014 lalu.
Dalam penanganan kasus korupsi Kejaksaan juga belum sepenuhnya menjalankan mandat dalam Program Nawa Cita Jokowi JK. Salah satu program Prioritas dalam Nawa Cita yang bersinggungang langsung dengan tugas dan fungsi Kejaksaan adalah memprioritaskan penenanganan kasus korupsi di sektor penegakan hukum, politik, pajak, bea cukai dan industri SDA. Meskipun dalam laporan tahunan Kejaksaan Agung tahun 2014 sektor penegakan hukum, politik, pajak dan bea cukai sudah menjadi prioritas namun kenyataannya tidak tergambar dengan jelas prestasi penindakan disetiap sektor prioritas. Meskipun statistik penindakan pemberantasan korupsi cukup tinggi namun tak ada laporan yang spesifik dapat menjelaskan kinerja kejaksaan untuk prioritas sektor. Hal yang perlu digarisbawahi adalah industri SDA belum menjadi prioritas sektor yang penting untuk diperhatikan.
Keempat, reformasi birokrasi Kejaksaan yang belum berjalan. Salah satu mandat dalam Inpres 7 Tahun 2015 dan Program Nawacita untuk dilaksanakan oleh Kejaksaan adalah Melakukan lelang jabatan strategis pada lembaga penegak hukum dan pembentukan regulasi tentang penataan aparat penegak hukum. Namun hingga kini pengisian jabatan-jabatan strategis ditubuh Kejaksaan belum dilakukan dengan proses lelang. Dalam beberapa proses rotasi jabatan tidak dilakukan dengan proses lelang. Dalam surat Keputusan Jaksa Agung No: Kep-074/A/JA/05/2014 tanggal 13 Mei 2015 ada 16 pejabat eselon II dan III yang akan dirotasi. Begitu pula dengan Bayu Adhinugroho yang ditunjuk debagai koordinator Kejaksaan Tinggi DKI. Bayu Adhnugroho adalah anak dari Jaksa Agung H.M Prasetyo. Bersama Bayu ada 74 pejabat eselon III yang akan dirotasi. Yang teranyar, kabar pergantian Jaksa Agung Muda Pidana Khusus yang juga tak dilakukan melalui proses lelang.
Persoalan lain yang muncul dari institusi Kejaksaan adalah tidak transparannya informasi mengenai seluruh perkara korupsi yang ditangani oleh institusi tersebut. Informasi penanganan perkara korupsi di Kepolisian dan Kejaksaan selama ini sebatas angka statistik tanpa penjelasan yang memadai. Sifat tertutup ini tentu saja menyulitkan publik untuk melakukan pengawasan dan penilaian secara objektif terhadap kasus korupsi yang ditangani oleh Kejaksaan. Permintaan informasi penanganan perkara korupsi yang diajukan oleh ICW pada akhir September 2015 lalu hingga saat ini belum dipenuhi oleh kedua institusi penegak hukum tersebut.
***
Berdasarkan sejumlah uraian diatas maka kami dapat menyimpulkan bahwa – HM Prasetyo gagal menjalankan mandat sebagai Jaksa Agung dalam menegakkan HAM dan memberantas korupsi di Indonesia. Presiden Jokowi harus mengganti HM Prasetyo dengan figur lain yang lebih kredibel dan indpenden (bukan politisi) sebagai Jaksa Agung. KPK, PPATK, Komnas HAM dan instansi lain penting untuk dilibatkan dalam proses penjaringan kandidat Jaksa Agung.
Jakarta, 25 Oktober 2015
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) – Indonesia Corruption Watch (ICW)