Gagasan pemerintah tentang perubahan atau penyesuaian pidana yang tertuang dalam Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana hendaknya tidak didasarkan atas dasar membantu mengurangi kelebihan kapasitas di lembaga pemasyarakatan. Jika disahkan, ketentuan baru soal perubahan atau penyesuaian pidana dinilai lebih luas cakupannya ketimbang aturan soal remisi yang ada. Ali Aranoval dari Center for Detention Studies, di Jakarta.
Jumat (30/10), mengatakan, sebaiknya seluruh keputusan terkait perubahan atau penyesuaian pidana diserahkan lewat putusan pengadilan. “Jadi, menteri tidak lagi berhak memutuskan remisi. Seluruhnya diserahkan saja ke pengadilan,” kata Ali.
Dengan diserahkan ke pengadilan, setidaknya akan mengeliminasi kelemahan praktik pemberian remisi yang seharusnya diberikan berdasarkan pada prosedur dan indikator yang sudah ditetapkan. Ini karena kelemahan pemberian remisi saatini terletak pada pergeseran soal prosedur dan indikator menjadi fasilitas “cuci gudang” lembaga pemasyarakatan karena kelebihan kapasitas.
Julius Ibrani dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia mengatakan, selama ini ada sesat pikir dari pemerintah terkait dengan ketentuan penyesuaian pidana, remisi, asimilasi, dan pembebasan bersyarat. “Pemerintah selalu mengatakan, itu bagian dari HAM. Padahal, HAM itu hak yang melekat sejak lahir tanpa perlu syarat untuk men-dapatkannya. Sedangkan hak narapidana itu lahir dengan syarat bahwa seketika seseorang dinyatakan bersalah oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap,” ujar Julius.
Julius mengatakan, pemberian penyesuaian pidana, remisi, asimilasi, dan pembebasan bersyarat harus didasarkan pada hasil pembinaan dan pembimbingan narapidana oleh lembaga pemasyarakatan, yakni intelektualitas, religiusitas, kesehatan jasmani dan rohani, latihan kerja, serta produksi.
Sumber : Kompas