Ketika Zaman Telah Berubah…
Sebutir granat tangan bernomor seri GT/5PE-A2 Pind ditemukan di depan pintu masuk kantor Posko Tim Relawan untuk Kemanusiaan pada Mei 1998. Di tengah ingar-bingar politik saat itu, granat tersebut bagian dari “pesan” untuk pekerja kemanusiaan Sandyawan Sumardi dan para relawan.
Terletak di tengah permukiman padat, tak jauh dari aliran Sungai Ciliwung, Jakarta, aktivitas penghuni kantor Tim untuk Relawan Kemanusiaan, saat itu, selalu diawasi apparat. Sesekali mereka juga diteror.
Kini, setelah belasan tahun berlalu, Sandyawan tetap di tepi Ciliwung dan kini memimpin gerakan Ciliwung Merdeka.
Namun, banyak hal telah berubah. Apabila dulu Sandyawan berhadapan dengan pemerintah dan aparat; kini terkadang dia berselisih paham dengan sesama warga. Dia pernah dikecam dan dirundung karena membantu warga. Hal serupa dialami para dosen yang kerap membantu Ciliwung Merdeka “Warga miskin, kok, dibantu?” begitu omelan yang pernah muncul.
“Sekarang ini. ibaratnya banyak orang telah dikirimi candu, narkoba. Jadi, butuh kejernihan pikiran dan hati untuk menimbang sesuatu. Bagi kami, kini (gerakan masyarakat sipil) jauh lebih berat tantangannya dibandingkan zaman Orde Baru,” kata Sandyawan.
Direktur Eksekutif Indonesian Legal Resource Center (ILRC) Uli Parulian Sihombing mengatakan, dulu aktivis melawan rezim pemerintah dan militer. “Kini, aktivis harus berhadapan dengan pemilik modal yang sangat berkuasa,” katanya.
Perlawanan ini, ditegaskan Uli, tidak mudah. “Pemilik modal dapat memengaruhi pengadilan, pemerintah, dan juga Parlemen,” ujarnya.
Dana
Masalah dana juga menjadi persoalan lain yang harus dihadapi gerakan masyarakat sipil. Demokratisasi yang terjadi membuat dunia tidak lagi me-lihat Indonesia butuh uluran tangan. Don;isi makin surut.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum” Indonesia (YLBHI) Alvon K Palma menuturkan, tren dana untuk masyarakat sipil memung cenderung turun, terutama untuk isu-isu terkait hak sasi manusia
Lembaga Bantuan Hukunl (LBH) Jakarta juga menghadapi penurunan pendapatan untuk operasional, tahun 2015, LBH Jakarta mendapat donasi Rp 15 miliar, sedangkan tahun 2016 baru dapat dana dari donor Rp 4 miliar. Padahal, anggaran paling rendah yang dibutuhkan LBH selama ini Rp 7 miliar.
“Per bulan, kami butuh dana operasional Rp 600 juta. Telah dicoba cara untuk mendapat dana dari partisipasi masyarakat meski baru terkumpul Rp 15 juta per bulan dari sekitar 140 penyumbang tetap,” ujar Direktur LBH Jakarta Alghiffari Aqsa.
Rapat kerja LBH Jakarta tempo hari menargetkan, dalam tiga tahun ke depan sebanyak 50 persen dari kebutuhan dana operasional dapat disokong publik. Masyarakat sipil Indonesia tentu -ingin “mandiri” dari donasi asing meski tidak mudah di tengah lemahnya kepedulian publik Indonesia
Dengan keterbatasan dana, Forum Warga Kota Jakarta (Fakta), salah satu gerakan sipil masyarakat perkotaan di Jakarta, juga terus mencoba bertalian. Fakta berkantor di Jalan Pancawarga, Cipinang Muara, Jakarta Timur. Jelas bukan sebuah kawasan elite.
“Kami dapat membeli kantor atas dana sumbangan Uskup Tokyo. Seorang biarawati asal Jepang jatuh hati dengan aktivitas Fakta. Ketika pulang, dia curhat” kepada Uskup Tokyo yang lantas memberi kami dana,” ujar Ketua Fakta Azas Tigor Nainggolan.
Di tengah keterbatasan, Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah punya metode baru dalam memperjuangkan kepentingan rakyat. “Kami memilih jihad konstitusi karena lebih efektif dibandingkan dengan demonstrasi di jalanan. Apalagi, tantangan bangsa sudah berubah. Rakyat dapat ditindas dengan undang-undang.” kata Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah Syaiful Bahri.
Sejak Muktamar Yogyakarta tahun 2010, Majelis Hukum dan HAM yang beranggotakan para advokat dan pegiat hukum di perguruan tinggi Muhammadiyah menemukan 115 UU yang bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.
°Muncullah judicial review UU tentang Minyak Bumi dan Gas, UU tentang Rumah Sakit, UU tentang Ormas, dan UU tentang Sumber Daya Air, dan kami menang,” ujar Syaiful. Kini, PP Muhammadiyah mengajukan uji materi UU tentang Sistem Devisa dan Transaksi Pembayaran. UU tentang Ketenagalistrikan, dan UU tentang Penanaman Modal.
Keterbatasan dana, kata Uli Parulian, juga disiasati dengan kerja jaringan. “Hasil riset kani) kemudian dipakai lembaga lain untuk mengadvokasi kasus. Ada pula yang melobi DPR untuk menjaga suatu regulasi tertentu.” ujarnya.
Kaum muda
Dari dulu, kaum muda adalah penggerak perjuangan. Republik ini juga didirikan oleh kaum muda. Namun, kini. Sandyawan melihat orang muda jarang bertahan lama dalam perjuangan. Dalam kegiatan gerakanmasyarakat sipil, juga ada kesan aktornya hanya mereka-mereka saja.
Tigor memandang, gerakan masyarakat sipil kini diisi sebagian oleh orang-orang yang tidak kuat miskin. “Perjuangan hanyalah batu loncatan,” ujarnya.
Fenomena lain adalah kemunculan orang-orang muda yang justru suka mengambil posisi di “tikungan”. Gagasan-gagasan orisinal dari warga disulap untuk mengambil proyek pemerintah. “Aktivis juga ada rang menghilang setelah diangkat menjadi komisaris atau dit;irik masuk dalam kekuasaan. Idealisme berjuang dari dalam tinggal harapan. Banyak tokoh pergerakan yang akhirnya tidak berani menyuarakan aspirasi rakyat,” ujar Tigor.
Fenomena yang disebut Tigor sebagai kooptasi kekuasaan ini akhirnya membuat gerakan ma-syarakat sipil sering kali justru dihadang oleh teman sendiri. Makin sulit menemukan sosok konsisten seperti Abdurrahman Wahid, Mangunwijaya, afau Asmara Nababan, yang murni membawa misi kerakyatan untuk berjuang bersama dan untuk rakyat.
“Justru mereka yang sampai sekarang memperjuangkan masyarakat, seperti Sandyawan, malah dibilang gagal move on,” kata Tigor sambil tertawa getir.
Tentu saja tidak buruk menjadi orang-orang pilihan yang diajak masuk ke dalam lingkaran kekuasaan. Namun, ada baiknya apabila mereka yang terpilih tersebut tetap menyadari akar mereka Menyadari bahwa mereka terpilih tentu dengan doa-doa untuk tetap menyuarakan perubahan.
Sumber : Kompas