Koalisi Sipil Selamatkan Teluk Jakarta mengapresiasi kebijakan moratorium reklamasi Teluk Jakarta yang diambil Menko Kemaritiman, Rizal Ramli. Meski demikian mereka mendesak pemerintah menegakkan hukum, karena proses reklamasi sarat dugaan manipulasi, korupsi, hingga pengrusakan lingkungan.
Manager Hukum Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Muhnur Satyahaprabu menuturkan, langkah moratorium untuk reklamasi Teluk Jakarta tidak cukup. Apalagi saat ini ada 17 provinsi yang sedang merencanakan dan melaksanakan reklamasi.
“Mayoritas reklamasi di Indonesia bermasalah dengan penegakan hukum, perlindungan lingkungan, hingga mengorbankan para nelayan,” katanya, di Kantor YLBHI, Jalan Diponegoro, Jakarta.
Dia mengatakan, pemerintah menutup kelemahan dalam regulasi yang selama ini dijadikan celah untuk melakukan kejahatan. Dalam reklamasi Teluk Jakarta terdapat banyak celah hukum yang disalahgunakan sejumlah oknum pemerintah dan pengembang.
“Kita meminta harus ada audit lingkungan, pemberian sanksi, dan penegakan hukum atas pihak-pihak yang diduga melakukan manipulasi, moratorium ini harus menjadi langkah awal bagi penegakan hukum tersebut,” ujar Muhnur.
Dia menerangkan, 28 kantor perwakilan Walhi mencatat ada 32 izin reklamasi di Indonesia yang sedang dalam perencanaan dan ada yang sudah dilaksanakan. Pemerintah diminta bertanggung jawab atas segala kerugian yang ditimbulkan.
“Banyak izin reklamasi yang diterbitkan secara ceroboh, pemerintah harus bertanggung jawab, kalau ada indikasi korporasi yang melakukan pengrusakan lingkungan, maka pemerintah harus menggugatnya,” tekannya.
Ketua Bidang Pengembangan Hukum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Marthin Hadiwinata menyebutkan, dalam kasus reklamasi Teluk Jakarta baru 4 izin yang bisa diakses oleh masyarakat. Menurutnya, masih ada izin yang sulit diakses sehingga menguatkan dugaan adanya manipulasi dan korupsi.
“Pemerintah harus memberi kepastian hukum ke masyarakat agar proyek reklamasi ini tidak berjalan lagi,” katanya.
Marthin menolak jika moratorium dijadikan kesempatan untuk memutihkan kesalahan-kesalahan pemerintah. Apalagi moratorium tersebut merupakan pembuktian bahwa terjadi permasalahan prosedur dan hukum dalam proyek reklamasi.
“Selama ini unsur partisipatif masyarakat hanya dilakukan dengan mengajak masyarakat untuk makan siang bersama,” ungkapnya.
Seharusnya masyarakat yang terdampak oleh proyek reklamasi harus diinformasikan dengan baik.
Terkait sidang gugatan tolak reklamasi yang saat ini sedang berjalan PTUNJakarta, Marthin menegaskan, pihaknya hanya akan mencabut gugatan jika proyek reklamasi Teluk Jakarta resmi dibatalkan. “Kalau tidak ada itikad baik dari pemerintah, gugatan itu akan terus kami lanjutkan,” tandasnya.
Pengabdi bantuan hukum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Wahyu Nandang mengatakan, ancaman reklamasi masih berlansung di sejumlah wilayah di Indonesia. Maka dari itu pihaknya meminta agar pemerintah melakukan moratorium untuk semua proyek reklamasi tersebut.
“Pemerintah jangan memberikan pemaafan terkait moratorium ini, harusnya pemerintah lewat moratorium ini melakukan investigasi dan mengkaji dampak dari reklamasi tersebut dan sampaikan hasilnya ke publik,” ujarnya. Selama ini masyarakat tidak mengetahui apa saja dampak reklamasi tersebut.
Deputi Pengelolaan Program dan Evaluasi Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Susan Herawati menuturkan, sejak berlansungnya reklamasi di Teluk Jakarta, sekurangnya sudah 100 kepala keluarga berganti profesi, dari nelayan menjadi tukang ojek atau pemulung. “Reklamasi merampas ruang hidup nelayan dan masyarakat yang bekerja di sektor perikanan,” katanya.
Dia meminta pemerintah lebih arif melihat apakah reklamasi bermanfaat untuk para nelayan dan warga pesisir, atau hanya menguntungkan pihak yang banyak uang. “Kalau laut direklamasi maka nelayan-nelayan akan kehilangan penghidupannya, mereka terpaksa mencari ikan ke tempat yang lebih jauh atau beralih profesi,” imbuhnya.
Di tempat yang sama, sejumlah nelayan asal Teluk Jakarta berencana memberikan hibah ikan kepada Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), yang sebelumnya menuding bahwa nelayan penolak reklamasi bukan nelayan sungguhan. Bahkan Ahok juga pernah menyebutkan Teluk Jakarta sudah tidak ada ikannya.
Ketua Forum Kerukunan Nelayan Muara Angke, Saefudin, memaparkan, pihaknya sengaja membawa satu peti ikan segar untuk diserahkan ke Gubernur Ahok untuk membuktikan bahwa mereka adalah nelayan yang hidup dengan menangkap ikan di Teluk Jakarta. Ikan yang dibawanya antara lain, ikan acang-acang, bronang, tembang, samge, dan hiper. Selain itu mereka juga membawa kerang hijau dan rajungan beserta alat tangkapnya.
Sumber : rmol.co