Permohonan keberatan hak uji materiil terhadap Peraturan Menteri Perindustrian RI No. 63 Tahun 2015 tentang Peta Jalan Industri Hasil Tembakau Tahun 2015 – 2020 (“Permenperin 63/2015”) yang diajukan oleh para Pemohon, Bapak M.H. Pandjaitan dkk. melawan Menteri Perindustrian RI telah diputus oleh Majelis Hakim Mahkamah Agung dengan Putusan Nomor 16 P/HUM/2016. Dalam putusannya, Mahkamah Agung RI menyatakan Permenperin 63/2015 bertentangan dengan lima peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, sehingga tidak sah atau tidak berlaku secara umum.
Permenperin 63/2015 yang diterbitkan pada Agustus 2015, menargetkan adanya peningkatan produksi rokok dengan pertumbuhan 5 – 7,4 persen per tahun sampai tahun 2020. Artinya, peningkatan ini membuat total produksi rokok akan menjadi 524,2 miliar batang pada tahun 2020. Jika perkiraan penduduk Indonesia di tahun 2020 adalah 270 juta orang, maka di tahun itu setiap orang –anak-anak maupun dewasa—akan merokok 1900-an batang rokok per tahun.
Aturan pro-rokok ini yang secara jelas bertujuan meningkatkan produksi, secara tidak langsung akan mendorong peningkatan pemasaran atau penyerapan hasil produksi yang pada akhirnya akan meningkatkan konsumsi. Peningkatan konsumsi ini perlu diwaspadai karena tren menunjukkan konsumen rokok adalah konsumen domestik sehingga produksi yang tinggi akan menyasar pada anak dan masyarakat Indonesia. Padahal, konsumsi rokok memiliki konsekuensi yang sangat membahayakan bagi masa depan Indonesia, bukan saja terkait dampaknya terhadap kesehatan, namun juga ekonomi, sosial, dan lingkungan secara luas.
Karena itu, para Pemohon, yaitu M. H. Panjaitan, Hery Chariansyah, H. Kartono Mohamad, Hias Dwi Untari Soebagio, Widyastuti Soerojo, dan Elysabeth Ongkojoyo, yakin bahwa Permohonan Keberatan Hak Uji Materil adalah sebuah momentum untuk mengubah haluan Kementerian Perindustrian bangsa ini agar tidak hanya mementingkan keuntungan ekonomi bagi korporasinya saja, tetapi justru mengedepankan tanggung jawab hak asasi manusia.
Pada 7 April 2016 lalu, enam Pemohon mengajukan Permohonan Keberatan terhadap Permenperin Nomor 63/M-IND/PER/8/2015 tentang Peta Jalan (Roadmap) Industri Hasil Tembakau Tahun 2015-2020 kepada Mahkamah Agung (MA) RI, melalui lima belas kuasa hukumnya yang tergabung dalam Solidaritas Advokat Publik untuk Pengendalian Tembakau Indonesia (SAPTA), di antaranya Prof. Dr. T. Mulya Lubis, S.H., LL.M., Julius Ibrani, S.H., Azas Tigor Nainggolan, S.H., M.Si., Tubagus Haryo Karbyanto, S.H., Ari Subagio Wibowo, S.H., dan Dr. Patricia Rinwigati, S.H. M.I.L.. Permohonan ini kemudian menjalani proses selama lebih dari setengah tahun hingga akhirnya diputuskan dan dikabulkan.
Dalam Putusan Mahkamah Agung No. 16P/HUM/2016 tertanggal 5 Oktober 2016 dinyatakan bahwa Permenperin Nomor 63/M-IND/PER/8/2015 tanggal 10 Agustus 2015 tentang Peta Jalan (Roadmap) Industri Hasil Tembakau Tahun 2015-2020 bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya), UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai.
Dengan begitu, MA memerintahkan Menteri Perindustrian RI untuk mencabut Permenperin Nomor 63/M-IND/PER/8/2015 tentang Peta Jalan (Roadmap) Industri Hasil Tembakau Tahun 2015-2020. Pemberitahuan Putusan MA ini secara resmi diterima tim advokat pada Selasa, 6 Desember 2016.
“Kita semua harus memberi apresiasi kepada Mahkamah Agung yang pada akhirnya mengabulkan keberatan kita. Putusan MA agar mencabut Peta Jalan IHT adalah keputusan yang sangat tepat dan sangat berpengaruh pada masa depan bangsa ini nantinya,” jelas Prof. Dr. T. Mulya Lubis, S.H., LL.M., advokat senior dalam keterangan tertulis, Selasa (13/12/2016).
Tubagus Haryo, Wakil Ketua FAKTA (Forum Warga Kota Jakarta) sekaligus Koordinator SAPTA yang turut menjadi salah satu advokat dalam perkara ini, menambahkan, “Bagaimanapun ini adalah sebuah kemenangan kecil bagi kita semua sebagai bangsa yang memiliki intregitas untuk melindungi rakyatnya dari intervensi korporasi rokok yang ingin mengambil kepentingan dari segala sisi, termasuk hukum.”
“Kementerian Kesehatan selama ini telah berusaha keras agar prevalensi perokok turun sehingga kualitas kesehatan rakyat Indonesia meningkat. Peta Jalan IHT tentu bertentangan dengan Peta Jalan Kementerian Kesehatan yang menargetkan penurunan jumlah perokok. Karena itu, Dengan terbitnya Putusan MA ini, kami berharap tidak ada lagi usaha-usaha untuk mengalahkan kepentingan yang lebih besar, yaitu kesehatan masyarakat,” tutup Dr. Lily Sriwahyuni Sulistyowati. MM., Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan RI.
Julius Ibrani, Koordinator Bantuan Hukum YLBHI mengatakan, “Paling tidak, ada tiga poin penting dari Putusan MA yang membatalkan Permenperin 63/2015. Pertama, diakuinya legal standing atau kedudukan hukum para Pemohon dengan latar belakang korban rokok, aktivis kesehatan, aktivis pengendalian tembakau, dokter, dan konsultan pengendalian tembakau, untuk menggugat produk hukum pemerintah yang “berbau” rokok. Kedua, pertimbangan Majelis Hakim MA yang menyatakan bahwa Permenperin secara khusus berakibat pada terganggunya aktivitas Para Pemohon dalam perjuangannya mengendalikan produksi tembakau, secara umum berdampak pada lingkungan kesehatan masyarakat secara nasional. Dan ketiga, diterimanya rumusan dalil Permohonan Keberatan yakni Permenperin yang mengatur peningkatan batas produksi rokok hasil tembakau akan secara langsung menyebabkan peningkatan terhadap konsumsi rokok. Sehingga, Putusan MA terhadap Permenperin ini merupakan terobosan hukum sekaligus preseden yang sangat baik bagi hukum dan HAM serta sistem ketatanegaraan di Indonesia.”
Berikut nama para pemohon beserta kuasa hukum Permohonan Keberatan terhadap Permenperin Nomor 63/M-IND/PER/8/2015 tentang Peta Jalan (Roadmap) Industri Hasil Tembakau Tahun 2015-2020.
Sumber : suara