Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang menuding aparatur sipil negara (ASN) di lingkungan pemerintah kabupaten (pemkab) atau pemerintah kota (pemkot) Jawa Tengah (Jateng) kerap kali melakukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM), sepanjang tahun 2016 lalu.
Berdasarkan Catatan Akhir Tahun (Catahu) LBH Semarang 2016 ada 221 kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Jateng selama tahun lalu. Dari 221 kasus tersebut, pelanggaran paling banyak dilakukan para ASN di tingkat Pemkot maupun Pemkab, yakni 55 kasus.
“Catatan itu berdasarkan data yang kami himpun dari berbagai sumber, seperti media cetak maupun pengaduan yang datang ke kami. Kebanyakan pelanggaran itu terjadi di wilayah Semarang dan sekitarnya [Semarang Raya],” ujar salah satu pengabdi bantuan hukum (PBH) LBH Semarang, Eti Oktaviani, kepada Semarangpos.com, Kamis (12/1/2016).
Berdasarkan data Catahu LBH Semarang 2016 itu, pelaku pelanggaran HAM terbanyak kedua ditempati pihak perusahaan dengan 50 kasus, disusul ASN dari lingkungan Pemprov Jateng dengan 27 kasus di posisi kedua dan aparat Satpol PP di urutan ketiga dengan 25 kasus.
Perempuan yang akrab disapa Etik itu menambahkan dari 221 kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Jateng itu paling banyak terkait dengan sengket tanah, yakni 68 kasus. Disusul kasus pelanggaran HAM terkait isu lingkungan dan nelayan di pesisir engan 58 kasus, diikuti isu miskin perkotaan dengan 55 kasus dan isu perburuhan dengan 42 kasus.
Dalam buku berjudul Merindukan Negara Hukum yang diterbitkan LBH Semarang dan diluncurkan di Kantor LPUBTN, Jl. Srigunting No. 10, Kota Lama, Semarang, Kamis siang, menuliskan bahwa masalah sengketa tanah memang acapkali menimbulkan pelanggaran HAM. Salah satu contoh adalah kasus reclaiming tanah di Dayungan, Sukorejo, Kendal, yang terjadi beberapa tahun lalu.
Kasus itu terjadi saat 13 warga Dayungan yang mengklaim memiliki tanah seluas 16 hektare bersengketa dengan pihak aparat desa. Ke-13 warga itu mengklaim tanah tersebut merupakan milik mereka karena telah mendapat redistribusi lahan oleh pemerintah. Namun, di tengah perjalanan pengelolaannya, kepala desa setempat merampas kepemilikan tanah itu dengan alasan tanah itu milik negara sehingga harus dikembalikan kepada negara.
Sengketa itu pun saat ini telah diputuskan di Mahkamah Agung (MA). MA memutuskan menolak gugatan para warga pada Agustus 2016 lalu, namun hingga kini surat putusan itu belum diterima warga dan kuasa hukum.
Sumber : semarangpos.com