Sejumlah warga Gampong Pante Cermin, Kecamatan Babahrot, Aceh Barat Barat Daya (Abdya) mengklaim saat ini sejumlah lahan warga dan hutan di desa mereka sudah dijadikan hak guna usaha (HGU) salah satu perusahaan perkebunan sawit.
Perwakilan warga menyampaikan hal ini saat menggelar jumpa pers bersama LBH Banda Aceh dan Walhi, Kamis (19/1) di Kantor LBH Banda Aceh, Pango, Kecamatan Ulee Kareng. Ketua Seunebok Gampong Pante Cermin, Doli Yong Teh, kemarin menyampaikan awalnya area ratusan hektare di sekitar desa mereka berfungsi sebagai perkebunan sawit milik warga dan kawasan hutan. Namun sejak 2007, salah satu perusahaan perkebunan memperoleh izin area itu untuk dijadikan perkebunan sawit atas lahan yang berstatus area penggunaan lain (APL). Persuhaan tersebut memiliki luas lahan sekitar 2.600 hektare.
Namun masalahnya, perkebunan warga dan area hutan diklaim masuk dalam HGU perusahaan dimaksud, sehingga saat ini pihak perusahaan itu membersihkan lahan tersebut dan ditanami sawit.
Hal ini menimbulkan reaksi warga setempat, sehingga mereka protes, bahkan pada 2014 warga pernah menduduki area PT DPL. Selain itu, warga juga sudah mengadu ke Gubernur, Bupati, hingga DPRK Abdya. Namun hingga kini belum ada solusi untuk permasalahan itu.
Sehingga warga meminta agar pemerintah dapat mengevaluasi kembali perusahaan tersebut, terkait berbagai izin di dalamnya. Karena ada dugaan banyak aturan yang dilanggar, salah satu terserobot lahan warga. Bahkan banyak janji perusahaan yang belum ditepati.
Sementara dari LBH Banda Aceh, Candra Darusman sebagai pendamping petani menyampaikan, saat ini LBH Banda Aceh dan Walhi sedang menyiapkan langkah strategis dalam penyelesaian masalah itu. Namun untuk tahap awal mereka akan menembuh jalur nonligitasi atau di luar persidangan di pengadilan, yaitu mendesak Pemprov Aceh dan Pemkab Abdya agar turun tangan. Namun jika hingga sebulan ke depan tidak juga dicapai titik temu, maka mereka akan menempuh langkah hukum.
“Saat ini kita terus melakukan kajian, guna ditemukan mekanisme hukum yang paling tepat untuk ditempuh, sehingga dapat menyelesaikan kasus ini secara efektif dan efesien,” ujarnya.
Sementara Direktur Walhi Aceh, M Nur mengatakan, mereka mendorong kasus itu dapat diselesaikan dengan musyawarah secara kekeluargaan. Menurutnya, saat ini kebanyakan konflik dikarenakan HGU perkebunan berada di area perkebunan warga. “Penyebabnya karena selama ini HGU ditetapkan dengan menunjuk peta di atas meja, padahal di lapangan kawasan itu merupakan rumah warga,” ujarnya
Sumber : tribunnews.com