Hari Kamis, 15 November 2018 telah dilaksanakan acara bedah buku berjudul Dinamika Pengaturan dan Permasalahan Tanah Ulayat. Acara ini diselenggarakan di Gedung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta Pusat. Bedah buku ini dihadiri oleh narasumber dari berbagai sektor hukum yaitu penulis buku yakni Dr. Julius Sembiring, S.H., MPA., Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H. (Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin), Yance Arizona, S.H., M.H., M.A. (Kandidat Doktor Universitas Leiden), Era Purnama Sari, S.H., M.H. (YLBHI), dan Dewa Putu Adnyana (Direktur LBH Bali), serta Arman Muhammad dari AMAN selaku Moderator dari diskusi Bedah Buku ini.
Bedah buku ini diawali dengan pembukaan dari Arman selaku Moderator yang mengulik sedikit potret sumber daya alam di Indonesia mengenai tanah ulayat. Setelah Moderator membuka diskusi, Prof. Farida melanjutkan diskusi dengan membahas permasalahan-permasalahan yang ada dan dianggap perlu untuk didiskusikan oleh narasumber serta peserta diskusi yang hadir. Sepemikiran dengan Penulis, Prof. Farida menyatakan bahwa masih ada tiga PR yang harus dilakukan oleh Ahli Hukum untuk memperjelas pengaturan dari tanah ulayat, yaitu yang pertama adalah dari sisi konsepsi dari penggunaan kata ‘ulayat’, ‘tanah ulayat’, dan ‘hak ulayat’ sehingga melahirkan konsepsi lain seperti subjek ulayat, objek ulayat, dan isinya dan itu sudah dideskripsikan dengan baik dalam buku ini. Yang kedua adalah dari sisi politik hukum dan yang ketiga adalah permasalahan yang ada. Prof. Farida berpendapat bahwa tanah ulayat mengandung hak privat dan hak publik, di mana hak publik berisi kekuasaan masyarakat hukum adat untuk mengatur kemanfaatan dari tanah tersebut dan lahirlah hak privat dari tanah ulayat tersebut yang mana masyarakat adat berhak secara bebas atau eksklusif untuk mengatur sendiri pemanfaatan dari tanah.
Diskusi dilanjutkan oleh Yance, menjelaskan tentang sejarah Undang-Undang Pokok Agraria di Indonesia sebagai alat untuk mengatasi dualisme hukum pada masa kolonial. Lalu Yance membahas mengenai praktek tanah ulayat di Indonesia. Beliau menjelaskan dualisme utama dalam legislasi tanah bertendensi kepada individual property dan communal property. Kedua ini menjadi polemik, karena di satu sisi kelompok menganggap bahwa seharusnya tanah dapat diliberalisasikan untuk pembangunan negara kedepannya, namun di satu sisi kelompok yang lain menganggap bahwa dengan adanya hak komunal maka dapat memaksimalkan penggunaan tanah untuk masyarakat sehingga tidak habis untuk dinamisme pasar dan masyarakat dapat mempertahankan haknya dari ekspansi yang datang dari luar. Menurut Yance, kedua asumsi ini ada benarnya namun keduanya terbukti keliru, karena dengan kepemilikan sertifikat hak milik tanah tidak menjamin hak seseorang, misalnya dengan peristiwa penggusuran di Jakarta, dan dengan adanya hak komunal juga tidak menjamin suatu kelompok adat mendapatkan haknya, pada contohnya di Sumatera Utara dengan adanya penunjukkan ketua dalam komunitasnya sendiri, dan ketua tersebut menggunakan otoritasnya untuk memperoleh keuntungan dari tanah ulayat. Yance berharap dalam mempersiapkan kerangka konsep dari pengaturan kedepannya, mau lebih berkaca kepada praktek yang ada di lapangan dan harus seimbang, agar pengaplikasian dan penegakkan hukumnya dapat berjalan semaksimal mungkin.
Berbeda dengan Era, beliau tidak memusingkan pembahasan mengenai konsepsi dari definisi ‘tanah ulayat’ dan sebagainya, karena definisi tersebut bersumber dari Sumatera Barat dan berdasarkan pengalaman di lapangan, tidak semua daerah mau menerima definisi atau penyebutan tersebut. Era mengkritisi mengenai hak masyarakat adat untuk apa yang ada di bawah bumi, karena berdasarkan pengalaman di lapangan, masyarakat adat tidak mengenal batas mengenai penguasaan dari hak ulayatnya, baik yang ada di atas tanahnya maupun di bawah bumi (tanahnya). Era juga mengkritisi menciutnya tanah adat, yang tadinya bersifat komunal menjadi individual, dan mengenai legislasi administratif pendaftaran tanah.
Diskusi dilanjutkan oleh Dewa yang memaparkan pengalamannya mengenai hak ulayat dan tanah ulayat serta penerapan hukumnya di Bali. Dewa mengulas unsur demi unsur yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang ada yang mana dideskripsikan secara jelas di buku Dinamika Pengaturan dan Permasalahan Tanah Ulayat dan membandingkan dengan penegakkan hukum yang ada. Beliau menjelaskan bahwa wilayah ulayat dibagi menjadi tiga, yakni wilayah pura, wilayah persawahan atau air, dan wilayah bagi petugas-petugas pura. Dewa berpendapat pembagian wilayah di Bali sangat sakral karena diyakini bahwa tanah merupakan sumber penghidupan dan ketika manusia meninggal, tanah merupakan satu-satunya elemen yang harus ada. Beliau juga menjelaskan bahwa di setiap tanah ulayat Bali wajib memiliki tiga pura yakni Pura Desa, Pura Dalem, dan Pura Puseh yang dikenal dengan Kahyangan Tiga.
Diskusi diakhiri dengan Julius selaku Penulis yang pada dasarnya menjawab kritikan dan menjelaskan latar belakang serta memaparkan keilmuannya mengenai tanah ulayat. Lalu diskusi ditutup dengan sesi tanya-jawab yang diajukan oleh peserta diskusi dan berlangsung dengan intensif dan menyenangkan. Para pembicara pun menjawab sesi tanya-jawab secara dua arah sembari bertukar pikiran dengan peserta diskusi. (Michelle)