Menyambut May Day 2013, LBH Jakarta mengeluarkan kertas posisi yang berisi catatan-catatan atas kondisi perburuhan di Indonesia, Selasa (30/4). Dalam kertas posisi tersebut, LBH Jakarta menyebutkan sejumlah permasalahan, seperti Kebebasan Berserikat, Outsourcing, Penangguhan Upah. Selain itu, LBH juga merekomendasikan beberapa hal dalam kertas posisinya.
Menurut Wakil Direktur LBH Jakarta, Restaria F. Hutabarat, sepanjang tahun 2012 ada 10 kasus pelanggaran kebebasan berserikat yang diadukan ke LBH Jakarta. Padahal, menurutnya kebebasan berserikat sudah dijamin melalui instrumen internasional konvensi ILO No 87 tentang Kebebasan Berserikat maupun instrumen nasional melalui UU No 21 tahun 2000. Dalam instrumen tersebut dijelaskan bahwa pelanggaran kebebasan berserikat dilekati sanksi pidana paling singkat 1 tahun atau paling lama 5 tahun dan/atau denda paling sedikit 100 juta atau paling banyak 500 juta.
“Hak untuk berserikat dalam prakteknya dikebiri oleh pemerintah sendiri dengan tidak berjalannya penegakan hukum. Penegakan hukum yang tidak berjalan dalam arti ketika buruh melaporkan pelanggaran kebebasan berserikat yang dialami, mereka hanya sebatas dipanggil menjadi saksi sesudah itu kasusnya tidak ada kejelasan,” katanya.
Dalam kertas posisinya, LBH Jakarta juga menyatakan bahwa kepentingan outsourcing adalah pendekatan modal dan investasi, yaitu “pasar tenaga kerja yang fleksibel,” dimana pengusaha mengejar keuntungan yang sebesar-besarnya, terhindar dari kewajiban-kewajiban serta membayar upah buruh semurah mungkin.
“Sistem outsourcing memberi kemudahan bagi perusahaan untuk mencari pekerja dengan upah murah, dan bila pengusaha tidak membutuhkannya maka akan mudah untuk dilakukan PHK. Sistem kerjaoutsourcing yang diatur dalam pasal 64-66 UU Ketenagakerjaan menempatkan buruh sebagai sapi perahan,” ujarnya.
Menurutnya, kengototan pemerintah dan DPR RI untuk mempertahankan sistem kerja outsourcing serta keputusan Mahkamah Konstitusi mengenai outsourcing telah merugikan buruh. Hal ini, menurutnya diperparah dengan keluarnya Permenakertrans No 19 tahun 2012 tentang syarat-syarat penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain.
“Bukannya menghapus dan menghilangkan praktek kerja outsourcing, Menakertrans malah semakin melegalkan sistem kerja outsourcing,” pungkasnya.
Ia juga menambahkan bahwa sistem kerja outsourcing ini bukan hanya ada di perusahaan swasta saja. Namun virus sistem kerja outsourcing ini sudah menggerogoti perusahaan BUMN, seperti PT Pertamina, PT PLN (Persero), PT Telkom, PT ASDP, PT Askes, PT Merpati, PT Jasa Marga, PT Indofarma, PT Gas Negara, PT Petro Kimia Gresik dan PT KAI (Persero).
Senada dengan Resta, Kepala Bidang Penelitian dan Pengembangan LBH Jakarta, Muhamad Isnur menganggap sistem kerja outsourcing harus dihapuskan karena itu merupakan perusahaan penyedia jasa pada dasarnya menjual manusia kepada perusahaan pengguna, sehingga bisa dianggap sebagai perbudakan. “Ini jelas bertentangan dengan prinsip perlindungan yang diatur dalam pasal 27 ayat 2 UUD 1945 yang menyebutkan tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan,” tegasnya.
Ia juga menjelaskan bahwa saat ini LBH Jakarta tergabung dalam Tim Advokasi Buruh untuk Upah Layak (TAB-UL), yang menjadi kuasa hukum para serikat pekerja yang menolak penangguhan upah. Saat ini tim advokasi telah menggugat tiga gubernur, yakni Gubernur Jawa Barat, Gubernur Provinsi Banten dan Gubernur Provinsi DKI Jakarta.
Dalam kertas posisinya, LBH Jakarta menyatakan bahwa penangguhan upah yang diajukan oleh perusahaan penuh dengan kecurangan yang masif dan terstruktur. Pola-pola kecurangan yang ditemukan antara lain:
- Penangguhan Upah, dipukul rata untuk semua pekerja, tanpa ada klasifikasi pekerja lajang, sudah menikah dan masa kerja 1 tahun atau lebih.
- Serikat Pekerja tidak dilibatkan perusahaan.
- Perusahaan melakukan intimidasi kepada pekerja/buruhnya untuk menandatangani Kesepakatan penangguhan upah dengan cara akan di PHK jika menolak untuk menandatangani, melanggar prinsip prinsip perundingan yang mendalam, jujur dan terbuka.
- Pengusaha menggunakan intimidasi kepada pekerja/buruh untuk menandatangani Kesepakatan penangguhan upah dengan cara pekerja/ buruhnya dipanggil satu-satu oleh HRD untuk menandatangani keepakatan tersebut;
- Adanya pengerahan preman, untuk menakut-nakuti para buruh, agar para buruh menandatangani kesepakatan penangguhan upah.
- Perusahaan tidak dalam keadaan kondisi yang merugi selama dua tahun terakhir.
- Perusahaan tidak transparan kepada para buruh mengenai persyaratan tata cara penangguhan upah.
- Tidak adanya audit perusahaan yang menyatakan bahwa perusahaan telah merugi 2 tahun berturut-turut.
- Tidak adanya laporan perkembangan produksi dan pemasaran selama 2 (dua) tahun terakhir serta rencana produksi dan pemasaran untuk 2 (dua) tahun yang akan datang.
Untuk itu, LBH Jakarta meminta Kepolisian RI untuk membentuk desk/unit perburuhan dalam Badan Reserse dan Kriminal Kepolisian RI. “Adanya desk/unit pidana yang khusus menangani pidana perburuhan bisa mendorong dan menjawab berbagai permasalahan-permasalahan pidana perburuhan,” katanya.
Resta juga merasa pelanggaran-pelanggaran hak normatif, kebebasan berserikat, sistem kerja kontrak,outsourcing, upah minimum, tidak terpenuhinya jaminan sosial tenaga kerja dan pelanggaran lainnya, disebabkan lemahnya pengawasan dan sanksi dari pemerintah. Berlakunya UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, menurutnya juga membuat pengawasan perburuhan semakin lemah.
“Maka penting penguatan pengawasan perburuhan ini melalui perubahan sistem. Seharusnya pengawasan perburuhan oleh pengawas ketenagakerjaan tidak bergantung pada otonomi daerah. Ia harus memiliki kekuatan memaksa agar pelanggaran-pelanggaran perburuhan tidak terus bertambah dan menjadi permasalahan yang semakin membesar,” tuturnya
Sumber: perspektifnews.com