Pada Kamis, 1 Agustus 2019, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengadakan diskusi bedah buku yang berjudul “Membatasi Tanpa Melanggar Hak Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan”. Buku ini ditulis bersama oleh Zainal Abidin Bagir, Asfinawati, Suhadi dan Renata Arianingtyas.
Bedah buku ini dihadiri oleh Zainal Abidin Bagir (Center for Religious and Cross-cultural Studies/CRCS UGM) selaku penulis, Asfinawati (Ketua Umum YLBHI) selaku penulis, Khariroh Ali (Komisioner Komnas Perempuan) yang memperkaya diskusi dengan prespektif perempuan. Diskusi ini dipimpin oleh Siti Rakhma Mary H (Ketua YLBHI Bidang Manajemen Pengetahuan) selaku moderator. Diskusi ini dihadiri sekitar 50 peserta dari kalangan mahasiswa, akademisi, pengacara, maupun masyarakat umum.
Menurut Zainal Abidin Bagir mengenai kebebasan yang dibatasi, permasalahannya terdapat pada pengimplementasiannya. Dalam ICCPR yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang No.12 tahun 2005 menjelaskan bahwa pembatasan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) harus berdasarkan hukum dan sepanjang diperlukan untuk melindungi salah satunya keselamatan masyarakat (public safety). Frasa public safety pada pasal 18 ayat (3) ICCPR diartikan sebagai keamanan padahal keamaan lebih tepat diterjemahkan sebagai security. Hal ini berimbas menjadi rancunya pengertian akan pembatasan dari kebebasan tersebut karena apabila kita bandingkan dengan pasal 19 dan 22 undang-undang yang sama, public safety diartikan sebagai keselamatan publik. Konsekuensi dari tidak konsistennya hal tersebut adalah kecenderungan pada pendekatan keamanan (security) bukanlah ketertiban umum.
Menurutnya, diperlukan penjernihan dari norma pembatasan itu sendiri. Inkonsistensi akan penerjemahan tersebut selain mengakibatkan kecenderungan pada pendekatan keamanan, juga dapat mempengaruhi ketertiban itu sendiri, hingga dapat mempengaruhi kesehatan masyarakat hingga mengubah nilai nilai agama. Beliau menyarankan agar “nilai-nilai agama” dapat dipahami secara inklusif, sebagaimana diisyaratkan dalam pembahasan mengenai moral masyarakat. Selain itu beliau juga menyimpulkan bahwa diperlukannya implementasi dari pembatasan kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) tersebut serta melihat keberhasilan dari suatu pembatasan dari sejauh mana tujuannya tercapai.
Ketua Umum YLBHI, Asfinawati menjelaskan bahwa pembatasan KBB tidak boleh diskriminatif, mempertimbangkan aspek keselamatan, ketertiban masyarakat, kesehatan masyarakat, serta moral publik. Perlindungan terhadap bahaya untuk keamanan orang, untuk hidup mereka, atau integritas fisik, atau kerusakan parah terhadap benda milik mereka merupakan aspek keselamatan yang perlu diperhatikan.
Selain itu konstitusi Indonesia yaitu pasal 28J UUD 1945 juga tidak memasukkan “keselamatan” sebagai dasar pembatasan, melainkan menggantinya dengan “keamanan”. Aspek ketertiban masyarakat perlu diperhatikan karena keseluruhan pengaturan yang memastikan berfungsinya masyarakat, atau sebagai seperangkat prinsip mendasar yang menjadi pondasi masyarakat. Kesehatan masyarakat dapat digunakan sebagai landasan untuk membatasi hak-hak tertentu untuk memungkinkan suatu negara mengambil tindakan yang berhubungan dengan ancaman serius terhadap kesehatan populasi atau anggota individu dari populasi. Langkah-langkah ini harus secara khusus ditujukan untuk mencegah penyakit atau cedera atau memberikan perawatan untuk orang sakit dan terluka dengan mengacu pada peraturan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Konsep moral berasal dari banyak tradisi sosial, filosofis dan agama; akibatnya, pembatasan kebebasan untuk memanifestasikan agama atau kepercayaan untuk tujuan melindungi moral harus didasarkan pada prinsip-prinsip yang tidak diturunkan secara eksklusif dari satu tradisi tunggal.
Selanjutnya untuk pembicara yang konsisten terhadap perlindungan perempuan, yaitu Ibu Khariroh Ali. Pembatasan KBB juga berdampak terhadap permasalahan gender. Misalnya larangan menggunakan cadar di kampus. Aturan terhadapan larangan tersebut karena ada isu terkait dengan adanya indikasi sebagai pengikut suatu organisasi yang terlarang atau dianggap sebagai kelompok radikal. Sentimal yang menonjol ini lebih dimotivasikan terhadapat argumen keagaman dari masing-masing pihak. Permasalahan kedua yaitu Vaksin, yang motivasi ini muncul terkait dengan hal atau tidak. Suatu pandangan ini juga adanya agama yang dianggap tidak sesuai dalam ajaran agama tertentu.
Poin penting dalam pembahasan terkait dengan Pembatasan dalam Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan adalah apabila suatu agama sedang merayakan upacara keagaman tetapi mereka malah menggunakan jalan untuk dapat menampung segala umat tersebut seharusnya agama tersebut harus membangun tempat ibadah yang luas untuk bisa menampung segala umatnya bukan malah menggunakan fasilitas jalan. Apakah hal itu Toleransi? Sesuatu yang menimbulkan toleransi muncul apabila kita dapat memberikan sedikit waktu kita untuk mengalah tetapi bukan karena kita sedang melakukan upacara keagaman jadi bisa menggunakan seluruh akses jalan. Penggunaan akses jalan juga harus memperhatikan jangan sampai karena sedang melakukan upacara keagaman menimbulkan orang dapat meninggal akibat tidak memberikan akses jalan terhadap ambulance yang ingin menggunakan akses tersebut. Pembahasan ini juga harus ada penegasan bahwa harusnya kita berdansa bukan baris-berbaris dalam hal menanggapi permasalahan tersebut. Ucap dari Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. Acara ini diakhiri dengan foto bersama peserta dengan para pembicara.
(Penulis: Adrian Peris dan Rhendra Kusuma)