Presiden Jokowi harus segera menerbitkan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) terkait dengan telah disahkannya perubahan kedua terhadap UU KPK. Secara substansi, UU KPK hasil revisi, jelas bertolak belakang dengan agenda pemberantasan korupsi dan penyelamatan KPK.
Presiden memiliki wewenang konstituional prerogratif untuk menerbitkan Perppu atas dasar kondisi ‘kegentingan yang memaksa’. Perppu itu jelas punya landasan konstitusional, wewenang yang diberikan UUD 1945 kepada Presiden (Pasal 22 ayat 1 UUD 1945 jo. Pasal 1 angka 4 UU No. 12 Tahun 2011). Bahkan pemaknaan ikhwal kegentingan yang memaksa, telah diatur oleh MK, melalui putusannya No. 138/PUU-VII/2009.
Tanpa malu, tekanan partai-partai politik terhadap Presiden Jokowi untuk tidak mengeluarkan Perppu jelas merupakan kepentingan yang justru tidak menginginkan KPK kuat dan bekerja secara berintegritas. Ancaman pemakzulan merupakan penanda arogansi politik elit yang jauh dari tuntutan rakyat maupun semangat perang terhadap korupsi.
Sementara dalam gerakan atau aksi yang meluas di seluruh penjuru tanah air menunjukkan bahwa desakan penguatan KPK menjadi satu bahasa perlawanan publik atas kebijakan Senayan dan partai-partai politik. Sayangnya, korban telah berjatuhan hingga menewaskan 5 orang demontsran. Tidak sedikit mahasiswa atau siswa ditangkapi dengan mengalami kekerasan.
Kami, individual akademisi maupun dari sejumlah pusat studi universitas, serta organisasi non-pemerintah,
- Mendesak Presiden Jokowi segera mengambil langkah tegas memperkuat KPK dan kembali ke dalam agenda pemberantasan korupsi. Komitmen ini harus ditunjukkan dengan keberaniannya mengeluarkan Perppu UU KPK sebagai awal penguatan kembali KPK.
- Menyatakan turut berduka cita mendalam atas mereka yang meninggal, maupun menjadi korban kekerasan dalam aksi terkait #ReformasiDikorupsi.
- Sebagai simbol duka sekaligus keteguhan untuk tetap berjuang bersolidaritas bersama, maka #PitaHitamMelawan sebagai inisiatif kami mendorong pengungkapan, pengusutan serta pertanggungjawaban hukum pelaku penembakan, penyiksaan/penganiayaan yang terjadi dalam aksi yang berlangsung pada September 2019 lalu.
- Mendesak otoritas penyelenggara kekuasaan untuk tetap menghormati dan melindungi hak-hak asasi manusia, jaminan kebebasan berekspresi/berpendapat, sekaligus memutus impunitas atas sejumlah pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi selama ini.
Jember, 14 Oktober 2019
bertempat di FEB Universitas Jember
Organisasi Pendukung: Serikat Pengajar HAM Indonesia (SEPAHAM), CHRM2 Universitas Jember, Pusat Studi HAM Universitas Surabaya, Pusat Studi Anti Korupsi dan Demokrasi (PUSAD) Unmuh Surabaya, Pusat Studi Anti Korupsi dan Kebijakan Pidana (CACCP) FH UNAIR, Pusat Studi Hukum HAM (HRLS) FH UNAIR, Pusat Pengembangan HAM dan Demokrasi (PPHD) FH UNIBRAW, Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) Universitas Mulawarman, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Sekretariat Kaukus Kebebasan Akademik Indonesia (KKAI) dan sejumlah individual dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Universitas Negeri Semarang (UNNES), Universitas Padjadjaran (UNPAD) Bandung.
- Al Hanif, PhD (Koordinator SEPAHAM Indonesia dan Direktur CHRM2 UNEJ)
- Dian Noeswantari, MPAA. (Sekjend SEPAHAM Indonesia)
- Muktiono, M.Phil. (Ketua PPHD FH UNIBRAW)
- Dr. Herlambang P. Wiratraman (HRLS FH UNAIR dan Sekretariat KKAI
- Asfinawati, SH. (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia/YLBHI Jakarta)