Pernyataan Menteri Agama Mendiskriminasi Minoritas

Pernyataan Menteri Agama Mendiskriminasi Minoritas

Pasca dilantik menjadi menteri agama Fachrul Rozi mengeluarkan beberapa pernyataan antara lain ia bukan menteri agama Islam tapi menteri agama Republik Indonesia yang di dalamnya ada lima agama. Pernyataan ini memang terlihat melindungi seluruh agama tetapi mengandung kesalahan mendasar yaitu adanya agama yang diakui di Indonesia. Kesalahan tersebut selama ini menjadi sumber diskriminasi terhadap kelompok minoritas keagamaan (aliran yang tidak dominan ataupun lebih sedikit diikuti).

Mahkamah Konstitusi telah mengatakan dalam putusannya Nomor 140/PUU-VII/2009 mengenai Pengujian UU 1/PNPS/1965 pertimbangan hal. 297-298: “Mahkamah tidak sependapat dengan ahli Mudzakkir bahwa Pasal 2 ayat (1) UU Pencegahan Penodaan Agama dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada agama yang secara administratif memenuhi syarat dan diakui oleh negara. Menurut Mahkamah tidak ada hak atau kewenangan bagi negara untuk tidak mengakui eksistensi suatu agama, sebab negara wajib menjamin dan melindungi agama-agama yang dianut oleh masyarakat Indonesia”

Pernyataan ini serupa pula dengan penjelasan Pasal 1 UU 1/PNPS/1965 “Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius). Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan agama-agama di Indonesia. Karena 6 macam Agama ini adalah agama-agama yang dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia, maka kecuali mereka mendapat jaminan seperti yang diberikan oleh pasal 29 ayat 2 Undang-undang Dasar, juga mereka mendapat bantuan-bantuan dan perlindungan seperti yang diberikan oleh pasal ini. Ini tidak berarti bahwa agama-agama lain, misalnya : Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoism dilarang di Indonesia”

Jikapun Menag menafsirkan penjelasan ini sebagai pengakuan oleh negara, ada 6 agama yang disebut dan bukan 5.

Menteri agama juga menyatakan di lain kesempatan bahwa fatwa MUI perlu diikuti pemerintah serta melindungi komunitas Ahmadiyah tetapi dengan syarat yaitu tidak lagi sebagai agama. Pernyataan ini jelas bertentangan dengan pasal 1 Konstitusi yaitu Indonesia adalah negara hukum. Artinya seluruh tindakan pemerintah harus berdasarkan hukum dan bukan yang lainnya. Fatwa MUI mengikat mereka yang mempercayainya tetapi bukan bagian dari sumber hukum Negara Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam Peraturan Perundang-Undangan.

Menyatakan melindungi umat Ahmadiyah tapi bukan sebagai agama juga pernyataan tidak berdasar karena SKB 3 Menteri tentang JAI hanya mengatur larangan untuk menyebarkan satu hal saja. Tidak ada pernyataan bahwa menganut Ahmadiyah membuat mereka menjadi tidak menganut agama. Kalaupun ada pernyataan seperti ini maka negara telah melanggar hak beragama berkeyakinan warganya.

Hal-hal di atas ini membenarkan kekhawatiran publik tentang pengangkatan orang yang tidak berkompeten di bidangnya. Karena ini kami menyarankan Menteri agama berdiskusi mendalam dengan para ahli di bidangnya demi menegakkan Konstitusi yaitu melindungi seluruh Rakyat Indonesia apapun agama maupun keyakinannya.

Jakarta,
30 Oktober 2019

c.p:
Febi Yonesta (Ketua YLBHI Bidang Pengembangan Organisasi),

Muhamad Isnur (Ketua YLBHI Bidang Advokasi)

Arip Yogiawan (Ketua Bidang Jaringan dan Kampanye)

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *