Seorang tukang ojek Hasan Basri dinyatakan tak bersalah dan dikuatkan dengan putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak kasasi jaksa. Namun kasus ‘salah tangkap’ ini menunjukkan kecacatan dalam sejumlah proses penangkapan.
“Harapan saya diperbaiki dalam konteks bagaimana melakukan penangkapan. Harus ada prosedur hukum dan standar HAM dan hukum,” kata Ketua Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI) Alvon Kurnia Palma, saat dihubungi wartawan, Jumat (3/5/2013).
Alvon menilai Hasan berhak mendapatkan kompensasi dan rehabilitasi nama baiknya. Pihak yang melakukan kesalahan dalam proses penyidikan kasus perampokan yang membuat Hasan mendekam 8 bulan penahanan juga diharapkan meminta maaf kepada Hasan.
“Ketika mereka ditangkap ini, memang dengan surat penangkapan dulu. Dan harus dijalankan dengan prinsip Miranda Rule. Itu disebutkan mereka berhak didampingi kuasa hukum,” ujar Alvon. Miranda Rule ada prosedur penangkapan yang berlaku di Ameriak Serikat.
Penangkapan, menurut Alvon, haruslah dilakukan berdasarkan dua alat bukti yang kuat, tidak bisa menggunakan pernyataan satu orang saja. Jika tidak memiliki alat bukti yang kuat, maka pembebasan wajib dilakukan.
“Kalau tidak terbukti ya lepas. Jangan dipukul dan disiksa untuk memaksa membuat pernyataan,” tutup Alvon.
Kisah Hasan bermula ketika polisi menangkapnya pada 9 November 2011, di pangkalan ojek Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Sekitar pukul 20.00 WIB, Hasan dibawa sejumlah polisi ke Polsek Menteng dengan tuduhan terlibat perampokan.
Di Polsek Menteng, Hasan menyatakan dipaksa untuk mengakui tuduhan polisi. Setelah itu, Hasan harus mendekam di tahanan Polsek Menteng dan Rutan Salemba. Setelah melalui persidangan selama lebih kurang 6 bulan, Hasan akhirnya divonis tidak bersalah dan tidak terbukti terlibat dalam perampokan. Putusan ini dikuatkan MA.
Sumber : detik.com