Warga desa Kabupaten Batang yang berada di beberapa kecamatan, yakni Ujungnegoro, Karanggeneng, Ponowareng, Wonokerso dan Roban (UKPWR) sejauh ini terus masih berjuang menolak rencana pembangunan proyek PLTU Batang berkapsitas 2×1000 MW.
Spekulan tanah terus mencoba mengintimidasi dan merayu lahan milik warga yang terkena proyek megaskandal tersebut agar dijual ke PT Bhimasena Power Indonesia.
Bahkan, sebagian lahan milik warga sudah berjalan transaksi pembayaran melalui PT Bank Rakyat Indonesia (BRI).
Roidi (23), warga desa Karangeneng, Kecamatan Tulis yang tanah miliknya terkena proses pembebasan tanah pembangunan PLTU Batang ini dalam proses transaksinya banyak terjadi pelanggaran HAM. Warga diintimidasi, ditekan dan ditakut-takuti dengan informasi yang keliru.
“Perlawanan warga Desa UKPWR semakin solid dan warga masih bersikukuh untuk tidak melepas tanah-tanah mereka dengan harga berapapun, karena tanah bagi warga adalah Ibu yang senantiasa menghidupi kehidupan mereka,” terang Roidi, berdasarkan rilis yang diterima Aktual.co di Semarang, Sabtu (18/5).
Dia mengatakan bila warga tetap berkomitmen untuk melindungi lingkungan dari pencemaran dan kerusakan lingkungan. Hingga saat ini, warga masih diintimidasi dan di tekan oleh perangkat desa, para preman sewaan, aparat Polri dan TNI untuk mendesak warga untuk menjual tanah-tanah warga.
“Para makelar maupun spekulan tanah mencoba menawarkan jual-beli tanah dengan cara menekan, merayu, mengelabuhi dan parahnya lagi mengintimidasi lahan milik warga yang tidak mau dijual,” kata dia.
Perlawanan warga terhadap intimidasipun kian meningkat. Hal ini dilakukan warga dengan membuat spanduk selebar 90 meter di lahan-lahan mereka, pemasangan papan di tanah-tanah mereka yang bertuliskan “Kami Tidak akan Menjual Tanah-tanah Kami”.
Warga memasang bendera disetiap rumah-rumah mereka yang betuliskan “Tolak PLTU dan Selamatkan Lingkungan”. Bahkan warga siap mengusir para tim pembebasan lahan.
“Pernyataan Deputi Menkoperekonomian dan Bupati Batang yang telah mengklaim bahwa pembebasan lahan sudah 90% tersebut adalah bohong. Itu opini saja untuk mengelabui publik, kalau toh ada tanah yang sudah terjual itupun hanya sebagian kecil saja dan penuh dengan intimidasi,” tutur Roidhi.
Sumber : aktual.co