Ringkasan
Aksi demonstrasi massa pro-demokrasi terbesar pasca 21 tahun reformasi terjadi pada tahun 2019. Ketika itu ratusan ribu massa meluapkan kekecewaannya atas kebijakan negara yang tidak berpihak pada kepentingan publik. Massa yang terdiri dari mahasiswa, pelajar sekolah menengah, organisasi masyarakat sipil, jurnalis, dan elemen lainnya tumpah ruah di jalanan berbagai kota.
Protes utamanya dipicu oleh ketidaksetujuan terhadap revisi UU no 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Revisi UU dianggap akan melemahkan KPK karena melucuti independensi dan kewenangan lembaga tersebut. Di samping revisi UU KPK, massa juga menuntut hal-hal lain yang kemudian tergabung dalam 7+1 tuntutan. Tuntutan tersebut diantaranya mencakup isu korupsi, hak asasi manusia, lingkungan hidup, dan demokrasi. Termasuk dalam tuntutan tersebut adalah membatalkan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang bermasalah, seperti RUU Mineral dan Batubara (Minerba).
Afiliasi-Bisnis-Pejabat-Publik.pdf (216 downloads )
Kendati mendapat penolakan besar-besaran serta menelan korban jiwa saat aksi demonstrasi, revisi UU KPK terus berjalan. Tuntutan lainnya pun setali tiga uang, revisi UU no 4/2009 tentang Minerba bahkan disahkan beberapa bulan pasca revisi UU KPK. Pengesahan revisi bahkan dilakukan ketika pandemi Covid-19 tengah melanda, sehingga protes besar-besaran seperti tahun 2019 tidak lagi terjadi. Pengesahan juga mengecoh publik karena perhatian tengah mengarah pada paket Omnibus Law. Muatan pasal dalam UU Cipta Kerja sebagai bagian dari Omnibus Law menguntungkan pebisnis sumber daya alam, terutama batubara. Selang beberapa waktu kemudian, produk hukum bermasalah lainnya turut disahkan. Perppu Penanganan Covid-19 yang kemudian menjadi UU no 2 tahun 2020, revisi UU no 4/2014 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), dan UU no 11/2020 tentang Cipta Kerja.
Disahkannya produk hukum kontroversial yang dilakukan dengan pola serupa, yakni tertutup dan terburu-buru pantas untuk membuat publik bertanya motif serta kepentingan di baliknya. Dugaan kuat mengarah pada adanya kepentingan bisnis di balik pengesahan. Kepentingan itu terakomodir lewat pejabat publik yang memiliki hubungan dengan sektor bisnis. Baik sebagai pemilik maupun pengurus perusahaan, atau terafiliasi secara tidak langsung.
Dalam produk hukum kontroversial, kepentingan pebisnis dapat dilihat secara terang. Melalui revisi UU KPK, pebisnis secara mudah akan membajak proyek-proyek negara tanpa dapat disentuh secara hukum. UU No 2/2020 menguntungkan pebisnis karena memuat pasal penurunan pajak korporasi dari 25% ke 22%.
Melalui UU Minerba, pebisnis mendapat jaminan untuk terus mengeruk sumber daya mineral dan batubara. Mereka tak perlu lagi bersaing dengan BUMN untuk mendapatkan izin. Revisi UU MK sarat nuansa konflik kepentingan musabab saat disahkan, MK sedang menyidangkan dua UU Kontroversial yakni uji formil UU KPK dan uji materi Perppu No 1/2020. Sementara ketentuan dalam UU Cipta Kerja secara terang sangat menguntungkan pengusaha. Singkatnya produk hukum tersebut diduga kuat berpihak pada kepentingan bisnis, bukan kepentingan publik.
Laporan ini mengungkap keterkaitan pejabat publik dengan industri energi, terutama energi batubara. Keterkaitan tersebut menjadi penting dikarenakan industri batubara akan diuntungkan dengan revisi UU Minerba dan dikeluarkannya UU Cipta Kerja. Dalam UU Minerba sebelum revisi (UU nomor 4/2009), pebisnis mesti mengikuti persyaratan yang ketat untuk mendapat perpanjangan izin. Apabila hendak memperpanjang izin dengan beralih dari konsesi batubara jenis PKP2B, perusahaan batubara diharuskan mengikuti lelang terlebih dahulu. Proses lelang juga memberi prioritas kepada BUMN untuk mendapatkan izin pertambangan batubara. Melalui revisi UU Minerba, ketentuan tersebut dihapus. Pebisnis batubara pemegang PKP2B kini mendapatkan jaminan perpanjangan tanpa melalui lelang terlebih dahulu.
Ketentuan tersebut mulanya diakomodir melalui RUU Cipta Kerja. Namun dengan disahkannya revisi UU Minerba ketentuan tersebut tidak lagi diakomodir. Kendati demikian UU Cipta Kerja yang telah disahkan tetap memiliki ketentuan yang berpotensi menguntungkan pebisnis batubara. Ketentuan tersebut yaitu penghapusan pembayaran royalti 0% kepada pebisnis batubara yang memberikan nilai tambah pada batubara. Pebisnis yang melakukan gasifikasi batubara misalnya, tidak diharuskan membayar royalti kepada negara. Dalam hal ini, pebisnis akan mendapat keuntungan sementara negara berpotensi dirugikan.
Pejabat publik yang ditelusuri ialah anggota DPR dan pejabat eksekutif seperti Menteri ataupun Wakil Menteri. Laporan ini bermaksud menunjukkan, ketika pejabat publik diharuskan berpihak pada kepentingan publik, namun dalam kenyataannya masih terdapat pejabat yang diduga terafiliasi dengan aktor bisnis. Penelusuran menemukan sedikitnya terdapat 25 pejabat publik yang diduga terafiliasi dengan rantai industri batubara. 20 diantaranya merupakan anggota legislatif dan 5 lainnya pejabat eksekutif.