Siaran Pers
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pendidikan Tanpa Kekerasan
Mendorong Majelis Hakim Tingkat Kasasi Memberikan Keadilan bagi Korban!
(Amicus Curiae atas Permohonan kasasi dengan nomor register WA.U1/2383/HK.01/IV/2022 atas kasus Pelecehan Seksual di UNRI)
Kasus kekerasan seksual dalam lingkup perguruan tinggi menjadi salah satu poin perhatian kami, lembaga dan yayasan yang bergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pendidikan tanpa Kekerasan Seksual, yang terdiri dari YLBHI, ICJR, MaPPI FH UI, LBH Apik Jakarta dan SAFEnet. Selama ini, publik dihantui oleh tindakan kekerasan seksual yang dapat terjadi kapan saja dan dimana saja. Hadirnya UU No. 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, memperteguh komitmen Indonesia memiliki komitmen untuk memberikan ruang aman kepada siapapun, termasuk ruang aman untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual.
Salah satu perhatian kami terhadap kasus kekerasan seksual di Perguruan Tinggi adalah pada kasus yang terjadi di Universitas Riau. Kasus ini telah melalui proses pengadilan pada tingkat pertama dengan putusan Hakim yang pada pokoknya menyatakan bahwa terdakwa Dr. Syafri Harto M.Si. Bin Alm. Agus Salim tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan Primair, dakwaan Subsidair, dakwaan Lebih Subsidair Penuntut umum. Selanjutnya, Jaksa Penuntut Umum telah mengirimkan berkas kasasi pada Rabu, 20 April 2022 dengan nomor WA.U1/2383/HK.01/IV/2022 berdasarkan penelusuran SIPP Pengadilan Negeri Pekanbaru.
Kami memandang bahwa putusan hakim pada tingkat pertama memiliki beberapa kejanggalan, utamanya berkaitan dengan penilaian alat bukti. Atas dasar hal ini, terdapat penerapan hukum yang salah telah dilakukan oleh Majelis Hakim tingkat pertama. Kami mendukung upaya kasasi yang dilakukan oleh Penuntut Umum, atas dasar:
Pertama: Majelis Hakim tingkat pertama menganulir dakwaan primair, yaitu Pasal 289 KUHP dikarenakan tidak adanya unsur ancaman kekerasan, hal ini tidak tepat, karena dalam perkembangan pembahasan tentang kekerasan seksual, ancaman kekerasan telah dimaknai secara ekstensif, termasuk penyalahgunaan relasi kuasa, seperti apa yang telah dilakukan oleh terdakwa;
Kedua: Majelis Hakim tingkat pertama menganulir dakwaan subsidair, yaitu Pasal 294 ayat (2) ke-2 KUHP dikarenakan menurut Majelis Hakim tidak ada alat bukti lain yang dapat mendukung keterangan terjadinya perbuatan cabul yang disampaikan saksi korban “L”, dengan alasan satu saksi bukan saksi. Hal ini merupakan suatu kesalahan dalam memahami KUHAP, di mana dalam Pasal 185 ayat (3) dinyatakan bahwa satu saksi dapat diterima apabila disertai alat bukti yang sah lainnya. Sedangkan, dalam perkara ini telah dihadirkan alat bukti yang sah mulai dari keterangan ahli, alat bukti surat, dan saksi-saksi yang sangat relevan dengan perkara a quo;
Ketiga: Majelis Hakim tingkat pertama menganulir dakwaan lebih subsidair, yaitu Pasal 281 ke-2 KUHP, atas dasar keterangan saksi yang dihadirkan tidak langsung melihat apa yang disampaikan korban. Padahal, Putusan MK 65/PUU-VIII/2010 menekankan bahwa untuk menilai saksi yang dapat hadir di persidangan adalah yang memiliki relevansi dengan perkara.
Keempat: Majelis hakim tingkat pertama juga melakukan kesalahan dalam memeriksa dan memutus perkara a quo dengan tidak mengindahkan PERMA Nomor 3 Tahun 2017 dengan: Menegasikan aspek relasi kuasa yang begitu kental dalam perkara a quo sebagai bentuk dari ancaman kekerasan; Melontarkan pernyataan yang mengandung stereotipe gender yang tidak memiliki relevansi dengan perkara yang tengah diperiksa, yang mana juga melanggar ketentuan dalam Pasal 5 PERMA Nomor 3 Tahun 2017; Mengeluarkan pertanyaan-pernyataan stereotipe yang menyebabkan korban seakan-akan berbohong atas peristiwa yang menimpanya.;
Kelima: Selain soal keadilan untuk korban dalam kerangka hukuman bagi Terdakwa, maka jaminan pemenuhan hak korban harus juga dilakukan, yaitu: 1) Pembayaran restitusi sesuai dengan yang dituntut, 2) Jaminan keberlangsungan pendidikan saksi korban “L” sekalipun sedang menjalani proses hukum, ataupun nantinya terdapat putusan akhir yang berkekuatan hukum tetap, 3) Hak soal kerahasiaan identitas harus dilakukan: sesuai dengan amanat Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung (KKMA) No.144/ KMA/SK/VIII/2007 Tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan dalam Pasal 8: bahwa “Pengadilan harus mengaburkan informasi yang memuat identitas saksi korban….”
Oleh sebab itu, melalui Amicus Curiae (Sahabat Pengadilan) ini, kami dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pendidikan tanpa Kekerasan Seksual berharap Majelis Hakim yang mengadili perkara ini di tingkat Kasasi dapat menghadirkan keadilan dan pelindungan bagi korban yang merupakan korban dari kekerasan seksual yang telah dilakukan oleh Dekan Fisipol UNRI, sekaligus dosen pembimbing korban. Untuk itu kami mendukung dan mendorong Majelis Hakim untuk:
1. Mengabulkan permohonan Kasasi yang telah diajukan oleh Pemohon Kasasi/Jaksa/Penuntut Umum.
2. Mempertimbangkan berbagai peraturan perundang-undangan, konvensi internasional, pedoman teknis di institusi penegak hukum yang mempromosikan prinsip kesetaraan gender dan non-diskriminasi, di mana peraturan tersebut memberikan jaminan perlindungan bagi perempuan dan anak khususnya dalam mengakses dan mencari keadilan.
3. Menghukum Terdakwa dengan hukuman sesuai peraturan perundangan;
4. Menjamin putusan tingkat kasasi memberikan jaminan hak korban yaitu restitusi, jaminan keberlangsungan pendidikan dan kerahasiaan identitas korban
Narahubung:
YLBHI: info@ylbhi.or.id
ICJR : infoicjr@icjr.or.id
MaPPI FHUI: office@mappifhui.org / hotline: +62 821-2500-8141
LBH APIK Jakarta: hotline: +62 812-8759-4849
SAFEnet: info@safenet.or.id /hotline: 08119223375