Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengecam pernyataan Menteri Koordinator Maritim dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Panjaitan, yang mengusulkan adanya revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) agar TNI aktif dapat menduduki jabatan sipil. Menko Marves berdalih, agar TNI AD bisa lebih efisien dan “tidak perlu banyak bintang-bintang di angkatan darat. Jadi angkatan darat bisa lebih efisien,” Kata LBP.
Pernyataan Luhut di atas semakin memperjelas bahwa ada upaya serius untuk menghidupkan kembali dwifungsi TNI. Selama ini, telah banyak kebijakan rezim Jokowi yang menunjukkan gejala akan kembalinya rezim otoritarianisme Orde Baru.
Seperti, upaya melakukan militerisasi sipil melalui berbagai kebijakan, salah satunya adalah sistem Komando Cadangan bagi Aparat Sipil Negara (ASN) melalui Surat Edaran Menpan RB No. 27/2021 tentang Peran Serta Pegawai ASN Sebagai Komponen Cadangan Dalam Mendukung Upaya Pertahanan Negara. Di sisi lain, militer juga memiliki ambisi untuk kembali pada kehidupan politik dan demokrasi sebagaimana era Orde Baru. Seperti, pengangkatan TNI aktif Kepala BIN Sulawesi Tengah sebagai Penjabat Bupati Seram Bagian Barat, serta pengangkatan Penjabat Gubernur Aceh dari kalangan TNI yang mengakali peraturan perundang-undangan. Praktek lainnya yang dipertontonkan seperti perintah kepada prajurit untuk terjun ke sawah, menjaga aset vital nasional dan terlibat mengerjakan proyek infrastruktur. Di sisi lain, penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu serta penyelesaian konflik Papua yang melibatkan TNI belum mendapat titik terang.
Usulan revisi UU TNI yang seiring dengan menguatnya gejala otoritarianisme rezim Jokowi sangat membahayakan demokrasi sebagai buah reformasi. Tidak hanya itu, pernyataan LBP sebagai pejabat negara merupakan bentuk kesewenang-wenangan (obuse of power) dan pengingkaran konstitusi. Oleh karena tugas pokok dan fungsi TNI sesungguhnya telah diatur secara tegas dalam konstitusi beserta peraturan perundang-undangan, sebagai berikut:
Pertama, Pasal 30 ayat (3) UUD NRI 1945 yang mengatur secara Tegas menyebutkan bahwa Tugas pokok TNI adalah menegakan Kedaulatan Negara, Mempertahankan Keutuhan Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945, serta melindungi Segenap bangsa dan Seluruh tumpah darah Indonesia dari Ancaman dan Gangguan terhadap Keutuhan Bangsa dan Negara Telah diatur secara rinci tentang Tugas Militer sebagai alat Pertahanan Negara yang tidak dapat dimasukan dalam ruang lingkup Penegakan Hukum (Law Enforcement) maupun Instansi Sipil Pemerintahan Daerah.
Kedua, TAP MPR Nomor: X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi pembangunan dalam rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara yang tertuang pada BAB IV tentang Kebijakan Reformasi Pembangunan pada sektor Hukum menyebutkan Bahwa Penanggulangan Krisis di bidang Hukum Bertujuan untuk tegak dan terlaksananya Hukum dengan sasaran terwujudnya ketertiban, ketenangan dan Ketentraman Masyarakat yakni melalui Pemisahan secara Tegas Fungsi dan Wewenang Aparatur Penegak Hukum agar dapat dicapai Proporsionalitas, Profesionalitas serta Integritas yang Utuh;
Ketiga, TAP MPR Nomor: VI/MPR/2000 Tentang Pemisahan TNI dan POLRI dan TAP MPR Nomor: VII/MPR/2000 menyebutkan pada pasal 1 Bahwa TNI dan POLRI secara Kelembagaan terpisah sesuai dengan Peran dan fungsi masing-masing. Kemudian pada pasal 1 ayat (2) memperjelas bahwa TNI adalah Alat Negara yang berperan dalam pertahanan Negara;
Keempat, Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara menyebutkan bahwa TNI berperan sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
Kelima, Pasal 5 Undang-undang No.34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia menegaskan bahwa peran TNI adalah sebagai alat pertahanan Negara yang pada implikasinya bahwa anggota TNI aktif terpisah dari Institusi Sipil Negara.
Sebelumnya Yayasan LBH Indonesia telah mengungkapkan 10 kesamaan pemerintahan Joko Widodo dan Orde Baru sebagai berikut:
- Mengutamakan pembangunan fisik dan serba “dari atas” ke “bawah” untuk kejar target politik minus demokrasi.
- Pembangunan bernuansa koruptif dan nepotis.
- Tidak ada perencanaan resiko untuk masyarakat yang terdampak pembangunan sehingga menciptakan kemiskinan (pemiskinan) struktural.
- Pembangunan tidak berizin atau dengan izin yg bermasalah.
- Legal (UU dan Kebijakan) namun tanpa legitimasi suara rakyat.
- Melayani kehendak kekuasaan dan elit oligarki dg cara perampasan & perusakan lingkungan.
- Menstigma rakyat yang melawan perampasan hak dengan melawan pembangunan, komunis, radikal, anarko.
- Menangkap, mengkriminalisasi bahkan tak segan menembaki rakyat yang mempertahankan hak hingga terbunuh.
- Pendamping & warga yang bersolidaritas dihalangi bahkan ditangkap.
- Mengontrol narasi, informasi termasuk membelokkan fakta
Jika alasan efisiensi TNI AD yang dimaksud adalah karena banyak bintang-bintang yang tidak perlu di lingkungan TNI AD maka solusinya bukanlah ditempatkan pada jabatan sipil, melainkan pembenahan sistem dan kaderisasi di tubuh TNI AD untuk mewujudkan TNI yang profesional.
Pernyataan LBP tersebut juga semakin menunjukkan kegagalan reformasi di tubuh TNI khususnya TNI AD. Hal itu dapat terlihat dengan banyaknya dugaan pelanggaran HAM yang melibatkan TNI AD, khususnya di tanah Papua, dengan banyaknya pasukan yang ditempatkan di berbagai wilayah di Papua.
Untuk itu Yayasan LBH Indonesia mendesak:
- Hentikan upaya-upaya untuk mengembalikan dwifungsi TNI dengan merevisi UU TNI;
- Wujudkan TNI yang profesional dan Reformasi TNI dengan mengacu pada TAP MPR dan UU TNI;
- Kembalikan Jabatan-jabatan sipil yang telah diduduki TNI aktif maupun pensiun dini yang dilakukan dengan cara-cara mengakali peraturan perundang-undangan;
- Hentikan Pengangkatan Penjabat Kepala Daerah dari kalangan TNI;
Jakarta, 7 Agustus 2022
YLBHI