Setelah 18 tahun mati suri Pengadilan HAM di Indonesia kembali bekerja. Hari ini, Rabu, 21 September 2022, Pengadilan HAM kembali diaktifkan dimana sidang pertama Pengadilan HAM dilangsungkan di PN Makassar untuk mengadili kasus Paniai 2014. Agenda persidangan ialah pembacaan dakwaan terhadap satu-satunya Terdakwa Mayor Inf. (Purn.) Isak Sattu (IS), purnawirawan TNI-AD Mantan Perwira Penghubung Kodim 1705/Paniai pada Kabupaten Paniai. Dakwaan yang didakwakan kepada pelaku berupa dakwaan kumulatif : Kesatu, Pasal 42 ayat (1) huruf a dan huruf b jis Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf a, Pasal 37 UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM; dan kedua, Pasal 42 ayat (1) huruf a dan huruf b jis Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf h, Pasal 40 UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM.
Koalisi memahami bahwa berdasarkan dakwaan tersebut, pertama-tama IS didakwa dengan tanggung jawab pidana atas perbuatan yang dilakukan oleh bawahannya (command responsibility), yaitu dalam melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan berupa pembunuhan dengan ancaman pidana minimal 10 tahun penjara dan maksimal pidana mati. Kedua, IS didakwa atas command responsibility juga atas kejahatan terhadap kemanusiaan berupa penganiayaan, dengan ancaman pidana minimal 10 tahun penjara dan maksimal 20 tahun penjara.
Koalisi menemukan adanya beberapa kejanggalan. Pertama, Jaksa Agung terlihat jelas menetapkan pelaku tunggal dalam dalam konstruksi dakwaan kasus Paniai 2014 sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi melalui “serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil”. Serangan tersebut pastinya melibatkan lebih dari satu pelaku. Hukum dan standar internasional yang berlaku untuk kejahatan terhadap kemanusiaan dengan jelas menyatakan bahwa baik mereka yang memiliki tanggung jawab komando maupun mereka yang secara langsung melakukan kejahatan harus dimintai tanggung jawab pidana.
Penyelidikan Komnas HAM membagi para terduga pelaku dalam beberapa kategori, yaitu pelaku lapangan, komando pembuat kebijakan, komando efektif di lapangan, dan pelaku pembiaran. Secara logika, penanggung jawab komando bertanggungjawab atas kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh bawahannya.
Kami mengingatkan bahwa konteks pertanggungjawaban komando tidaklah berhenti pada orang yang memberikan perintah saja, akan tetapi juga termasuk pertanggungjawaban atasan yang tidak mencegah atau menghentikan tindakan pelanggaran HAM yang berat atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sebagaimana Pasal 42 UU Pengadilan HAM. Oleh karena itu sudah sepatutnya dakwaan tidak hanya menyasar IS sebagai Perwira Penghubung tetapi juga menyasar pada atasan yang dalam hal ini telah diduga tidak mencegah atau menghentikan dan menyerahkan pelaku kepada pihak berwajib. Pada titik ini, Jaksa tidak boleh terkesan melindungi pelaku dengan tidak menuntut pelaku yang jelas sangat potensial melanggar HAM. Sudah sepatutnya Jaksa turut menuntut pimpinan TNI yang bertanggungjawab dan kepala Operasi Aman Matoa V sebagaimana juga terang dijelaskan dalam laporan penyelidikan Komnas HAM.
Lebih dari itu, itu seharusnya Penuntut memulai dengan membuktikan pelaku lapangan telah melakukan kejahatan kemanusiaan. Apabila Penuntut memulai dari penanggung jawab komando, maka seandainya penanggung jawab komando diputus bebas oleh Pengadilan, mengakibatkan pelaku lapangan kemudian tidak lanjut didakwa oleh Penuntut.
Kedua, Koalisi mengingatkan kembali pernyataan Komnas HAM yang pernah mengangkat adanya obstruction of justice untuk dapat menjerat pertanggungjawaban pidana yang melibatkan pejabat TNI di atas Terdakwa IS. Koalisi mempertanyakan mengapa tindak pidana perintangan keadilan ini luput dari proses hukum saat ini. Dengan dasar itu, Koalisi menilai, dakwaan Kejaksaan Agung telah mengaburkan konstruksi hukum kejahatan terhadap kemanusiaan di kasus ini, salah satunya dengan hanya menetapkan IS sebagai satu-satunya terdakwa yang bahkan akan merugikan hak asasi dirinya karena bisa saja sebatas dijadikan “kambing hitam”.
Ketiga, walau Koalisi menghormati bahwa tidak ditahannya Terdakwa memang merupakan diskresi penegak hukum (Penyidik/Penuntut/Majelis Hakim) di tingkat pemeriksaannya masing-masing, Koalisi menyayangkan efek dari keputusan ini. Memang di satu sisi, menggunakan seminimal mungkin upaya paksa seperti penahanan adalah peradilan yang baik. Namun di sisi lain, masyarakat Indonesia dapat melihat bahwa pada kenyataannya penahanan lebih sering diberikan kepada Tersangka/Terdakwa yang berasal dari kalangan masyarakat kecil dengan tindak pidana yang lebih sederhana daripada kejahatan terhadap kemanusiaan.
Keempat, Koalisi juga menyayangkan bahwa keamanan di luar persidangan juga masih menjadi permasalahan yang tidak ditangani. Pertama, sehari sebelum sidang Pengadilan HAM Paniai ini digelar, Selasa, 20 September 2022 pukul 13.30 WITA lima orang dengan pakaian biasa dan satu orang dengan seragam polisi diduga pihak Intel Polresta Makassar meneror dan mengintimidasi dengan mendatangi rumah kontrakan mahasiswa Papua khususnya mahasiswa asal Paniai. Mereka menanyakan apakah ada aksi demo Pengadilan HAM Berat Paniai serta berjaga di depan pintu masuk rumah kontrakan.
Kelima, Koalisi menilai Negara dalam hal ini Mahkamah Agung dan Pengadilan tidak memberikan perlindungan yang layak kepada Majelis Hakim. Bila dibandingkan dengan tiga Pengadilan HAM yang sebelumnya, kondisi perlindungan yang tidak layak ini terjadi bagi pengadilan Terdakwa IS yang saat ini setelah menjadi purnawirawan dan tidak memegang jabatan dengan banyak pasukan, Dengan kondisi demikian, terlihat MA serta PN tidak siap, jika tidak dapat dikatakan tidak dimaksudkan, untuk melakukan perlindungan hakim maupun pengunjung sidang apabila Terdakwa adalah aparat aktif dengan jabatan tinggi.
Kami mendesak MA dan PN memberikan perlindungan yang layak bagi Majelis Hakim serta saksi, berkoordinasi dengan Kapolresta Makassar juga agar menjamin keamanan terutama bagi OAP yang berada di Makassar berkaitan dengan persidangan ini.
Disamping itu kami juga mendesak Jaksa Agung mengusut tuntas seluruh pelaku, selain IS, yang bertanggung jawab langsung atau yang memegang tanggung jawab komando dan membawa mereka ke peradilan. Dengan hanya dituntutnya satu orang dalam persidangan kali ini, akhirnya kami perlu bertanya: Jaksa sedang melindungi siapa?
Koalisi Pemantau Paniai 2014