Diskusi publik YLBHI-LBH Jakarta
Polisi Masa Kini: Brutalitas Minim Akuntabilitas?
Meninggalnya 9 orang dalam peristiwa 21-23 Mei 2019; penangkapan besar-besaran terhadap 1.489 peserta aksi #ReformasiDikorupsi beserta penggunaan kekuatan berlebih dalam pembubarannya pada 2019;represifitas penanganan aksi penolakan RUU Omnibus Law Cipta Kerja beserta penangkapan terhadap 5.298 peserta aksi; hingga yang terkini, meninggalnya ratusan orang dalam Tragedi Kanjuruhan beberapa waktu lalu. Kiranya cukup menggambarkan betapa brutalnya polisi. Alih-alih berubah, polisi pasca-reformasi yang telah dipisahkan dari ABRI justru menjelma menjadi aktor dominan pelanggaran hukum dan HAM.
Menurut Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Polisi kerap melakukan kekerasan berlapis berupa tindakan kekerasan, penyiksaan, hingga pembunuhan di luar proses hukum (extra judicial killing) sekaligus disertai rekayasa kasus di dalamnya. Di 17 wilayah selama 3 tahun terakhir (2019-2021), YLBHI mencatat sebanyak 102 kasus kekerasan dan penyiksaan dengan jumlah mencapai 1.088 korban.
Sepanjang tahun 2019 hingga 2022 menurut data yang dihimpun TAUD (Tim Advokasi untuk Demokrasi) tidak kurang dari 3200 massa aksi ditangkap oleh pihak Kepolisian yang terdiri dari berbagai macam aksi seperti Kasus Bawaslu 2019, Reformasi Dikorupsi 2019, Penolakan Omnibus Law 2020, Kasus Hardiknas 2021 dan Isu Presiden 3 Periode tahun 2022.
“Beberapa Pengacara Publik kita juga menerima ancaman, intimidasi bahkan mendapatkan penangkapan sewenang-wenang dan juga ancaman-ancaman kriminalisasi, ini yang menurut kami sangat dikhawatirkan hal tersebut terjadi tanpa ada akuntabilitas serta mekanisme pertanggungjawabannya,” ungkap Muhammad Afif (tim pengacara TAUD).
Brutalitas yang dilakukan oleh Kepolisian ternyata tidak hanya menyasar kepada massa aksi atau para pendamping di lapangan melainkan brutalitas tersebut juga menyasar kepada jurnalis yang sedang melakukan kerja-kerja jurnalisme. Penghalang-halangan dalam melakukan liputan, kekerasan, ancaman, intimidasi bahkan perusakan alat dalam melakukan liputan kerap kali dirasakan oleh jurnalis yang sedang bertugas. Hal tersebut dengan data temuan yang dihimpun AJI bahwa Polisi menjadi salah satu aktor yang paling dominan dalam melakukan kekerasan terhadap jurnalis. Metode terbaru yang dilakukan untuk membungkam para jurnalis adalah dengan meretas akun-akun pribadi milik jurnalis, meskipun kita tidak mengetahui siapa yang melakukan peretasan tersebut yang pasti hingga saat ini Kepolisian yang seharusnya mempunyai sumber daya untuk mencari pelaku peretasan tersebut juga gagal untuk mengungkap siapa pelaku peretasan tersebut. Banyak kekerasan tersebut terjadi ketika jurnalis melakukan peliputan terhadap isu-isu sensitive yang menyinggung apparat penegak hukum, kepolisian, militer, isu korupsi, pertambangan, kehutanan dan sebagainya.
“Kami melihat polanya mungkin mereka tidak memiliki satu institusi atau perusahaan pertambangan tersebut tapi mereka dijadikan alat untuk mengamankan asset yang ada di industry ekstraktif tersebut, sehingga kerap terjadi benturan antara jurnalis dengan kepolisian dan pola tersebit sering terjadi diberbagi tempat dan kami kerap bertanya salahnya jurnalis dimana ketika memberitakan informasu yang berkaitan dengan kepentingan publik,” ucap Abdus Somad- AJI Jakarta.
Kepolisian sebagai salah satu sub dalam sistem peradilan pidana di Indonesia ketika melakukan upaya paksa nyaris tidak ada kontrol. Lembaga praperadilan diharapkan dapat menjadi sarana untuk mengontrol upaya paksa yang dilakukan oleh pihak Kepolisian, namun sebagai lembaga post-pactum praperadilan kerap kali hanya menguji aspek-aspek formil seperti surat tugas, surat penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan lain-lain. Hal tersebut juga yang disinyalir menjadi pintu masuk kesewenang-wenangan Polisi dalam melakukan penangkapan seperti yang terjadi di aksi reformasi dikorupsi, penolakan omnibus law, aksi penolakan tambang di Wadas, dan sebagainya. Kewenangan yang besar tersebut tidak diimbangi dengan pengawasan yang memadai. Sehingga jika memabahas tentang reformasi Kepolisian maka salah satu yang harus segera diperbaiki adalah celah-celah dalam KUHAP yang memberikan kewenangan berlebih kepada Kepolisian.
“Yang paling utama sebetulnya adalah dalam proses penangkapan dan penahanan, pada proses ini paling banyak Hak Asasi Manusia warga negara direnggut dan yang menjadi aktor utamanya ketika Polisi itu melakukan dan memutuskan akan menangkap orang hanya didasarkan pada keputusan sepihak dari lembaga ini, dari penilaian tunggal penyidik dan tidak ada kontrol dari aktor-aktor lain dalam sistem peradilan pidana dan ini menjadi isu yang serius,” lanjut Iftitah Sari- ICJR.
Konsepsi Pemolisian Sipil dalam tatanan negara Indonesia yang menyatakan diri sebagai negara demokrasi namun tindakan Kepolisian kontradiktif dengan klaim tersebut. Hal tersebut dapat dilihat dari rentetan terjadinya brutalitas-brutalitas yang dilakukan oleh Kepolisian. Brutalitas-brutalitas tersebut selalu diiringi dengan wacana untuk melakukan reformasi terhadap instusi Kepolisian. Akan tetapi perlu diperjelas agenda reformasi Kepolisian seperti apa yang perlu kita dorong dan bagaimana bentuk idealnya.
“Dalam melakukan reformasi kelembagaan intinya bukan ada dibawah kementerian atau tidak tetapi ada indikator-indikator yaitu, ada pertanggungjawaban atau pengawasan internal yang efektif, hal ini bisa meniru jalannya KPK sebelum ada revisi terhadap UU KPK yang pewngawasnya internal namun bahkan pimpinan KPK pernah kena etik. Kemudian rekrutmen, mutasi, promosi yang non kolusif, non koruptif, non diskriminatif dan sesuai dengan kemampuan. Selain reformasi kelembagaan tersebu harus diikut dengan reformasi kewenangan yang dimiliki oleh Polri seperti penyesuaian wewenang dalam UU Polri dan UUD, larangan dan sanksi anggota polri melakukan tindakan diluar wewenangnya, dokumentasi termasuk perekakan dalam tindakan-tindakan Polisi, dokumentasi dari anggota Polri yang melakukan tindkan dan diserahkan kepada atasan, pengawas eksternal dan public dapat mengakses dokumentasi tersebut kecuali terkait dengan inti penyidikan dan menolak perintah atasan dilindungi apabila perintah melanggar UU dan hukum serta etika” ungkap Asfinawati.
Harapannya melalui diskusi yang diselenggarakan ini dapat melahirkan pemahaman yang baru sebagai bagian dari urun rembug mendorong adanya Pemolisian yang sesuai dengan tatanan masyarakat yang demokratis dan sesuai dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia.
Diskusi publik ini juga dapat disaksikan ulang lewat akun youtube YLBHI disini