Saat ini Aceh telah mengukir sejarah perdamaian, kedua belah pihak yang pernah bertikai (GAM dan RI) telah sepakat untuk menyelesaian pertikaian berdarah selama 30 tahun. Perjanjian damai kedua belah pihak telah menjadi bukti bahwa telah ada usaha dan itikad baik yang dilakukan oleh parapihak untuk perdamaian di Aceh. Proses peace making dan peace keeping telah dilakukan, dengan pembagian peran dan kekuasaan, demilitierisasi (penarikan pasukan TNI/Polri) dan decomisioning (Pelucutan senjata). Namun esensi yang terberat saat ini adalah terletak pada proses peace building (pembangunan perdamaian).
Pembangunan perdamaian adalah sebuah proses damai yang berkelanjutan dimana akar persoalan penyebab konflik telah selesai; rekonsiliasi dan pembangunan sosial ekonomi masyarakat dan penguatan institusi lokal yang responsif terhadap perdamaian telah dibangun. Maka perdamaian perlu ditopang oleh kuatnya institusi lokal, pembangunan sosial ekonomi, dan adanya kultur dan struktur masyarakat yang tercipta dengan sebuah proses rekonsiliasi sekaligus mengikis habis akar persoalan penyebab konflik di masa lalu.
Namun, pasca perdamaian antara GAM–RI, konflik di Aceh bergeser dari konflik vertikal menuju ke konflik horisontal (komunal), salah satunya dengan adanya perbedaan persepsi terkait implementasi dan penafsiran terhadap nilai-nilai keagamaan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Kondisi yang demikian melahirkan peluang betapa mudahnya penghakiman oleh sekelompok orang terhadap satu atau sekelompok orang lain secara sepihak dalam wujud stigmanisasi sesat dan menyesatkan, mengembangkan ajaran dan praktek ritual keyakinan yang meresahkan orang lain dan munculnya pelarangan terhadap sekelompok orang untuk menjalankan keyakinannya termasuk pelarangan pendirian rumah ibadah bagi kelompok yang dianggap sesat tersebut.
Silahkan unduh Tinjauan Yuridis Thdp Kedudukan Fatwa MPU Aceh_LBH Banda Aceh (PDF, Bahasa Indonesia)