Siaran Pers
“Pengesahan RUU PRT Mandek Hampir Dua Dekade: Jutaan Pekerja Rumah Tangga Masih Berada Dalam Bayang Perbudakan Modern”
Sejak awal diajukan ke DPR pada tahun 2004, Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) hingga hari ini tidak kunjung dibahas apalagi disahkan. Sejak 2004 RUU PPRT bolak balik keluar masuk dari daftar prolegnas DPR RI, selama 19 tahun para PRT menunggu adanya payung hukum yang melindungi mereka dari segala bentuk kekerasan, penyiksaan, dan perbudakan modern yang terjadi saat ini.
Selama itu pula terjadi pembiaran terhadap segala bentuk kekerasan dan penderitaan yang dialami PRT, dimana seharusnya segala penderitaan itu menjadi memori kolektif yang harus didengar oleh DPR dan sesegera mungkin mengesahkan RUU PPRT. UU PPRT menjadi penting dan memiliki urgensi yang sedemikian besar mengingat banyaknya kasus penyiksaan dan bahkan perdagangan orang yang dialami oleh teman-teman PRT.
Dalam hal ini negara mesti turun tangan memberikan jaminan perlindungan terutama melalui instrumen-instrumen hukum. Hal inilah yang membuat RUU PPRT menjadi sangat penting untuk segera dibahas dan disahkan oleh DPR.
Pekerja Rumah Tangga Korban Penyiksaan, Kekerasan, dan Perbudakan Modern
Pekerja Rumah Tangga (PRT) memiliki kerentanan yang lebih besar untuk mengalami penyiksaan dan kekerasan. Hal ini disebabkan mereka bekerja di ranah privat atau pribadi, dalam hal ini di rumah yang menjadi tempat kerjanya. Lingkup tempat kerja yang privat membuat tindak kekerasan atau penyiksaan lebih mudah dilakukan karena lebih mudah ditutupi. Hal ini termasuk juga dengan kerentanan untuk menjadi korban perbudakan modern.
Perbudakan modern setidaknya terdiri atas tiga unsur yaitu adanya relasi kuasa yang tak seimbang antara pelaku-korban, adanya paksaan atau koersi, dan adanya ketidakmampuan korban untuk melepaskan diri dari perbudakan yang dialami. PRT merupakan salah satu profesi yang sangat rentan akan terjadinya perbudakan modern, seperti perdagangan manusia, kerja paksa, bonded labor, eksploitasi seksual, perbudakan domestik, perkawinan paksa, hingga pengambilan organ tubuh ilegal.
Hal-hal seperti pemukulan, waktu kerja yang di luar akal sehat, hingga kekerasan seksual sangat rentang dialami oleh para PRT. Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) mencatat 1.635 kasus multi kekerasan terhadap PRT yang berakibat fatal selama 2017-2022. Selain itu, terdapat 2.021 kasus kekerasan fisik dan psikis, serta 1.609 kasus kekerasan ekonomi. Data-data tersebut hanyalah sebuah fenomena puncak gunung es yang sejatinya masih banyak kasus yang tak dilaporkan.
Banyaknya angka kasus tersebut dipengaruhi pula karena belum adanya dasar hukum yang mengikat secara detail terkait PRT. Selama ini, kasus yang berkaitan dengan kekerasan terhadap PRT diselesaikan dengan menggunakan dasar hukum Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau UU PKDRT. Dan kerap kali pengadilan yang mengadili kasus-kasus kekerasan terhadap pekerja rumah tangga kerap menjatuhkan sanksi ringan yang tidak sebanding dengan dampak permanen yang ditimbulkan pada pekerja.
Pekerja Rumah Tangga Korban Kasus Perdagangan Orang
Hingga tahun 2023, Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) masih menjadi permasalahan utama yang mesti dituntaskan oleh pemerintah. Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara RI (Bareskrim Polri) dalam lima tahun terakhir (tahun 2015-2019), sebanyak 2.648 orang menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Sementara Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) mencatat sedikitnya 1.581 orang di Indonesia menjadi korban TPPO pada periode 2020-2022.
PRT juga termasuk sebagai bagian dari korban-korban TPPO. Hal ini sesuai data dari Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) total aduan kasus perdagangan yang ditangani SBMI sejak 2012 sampai 2020 adalah 2.597 kasus. Dari jumlah tersebut, PRT merupakan korban perdagangan orang terbesar, yakni sebesar 58,5 persen (1.519 kasus).
Kertas Laporan Investigasi yang dikeluarkan oleh SBMI ”Jeratan Perdagangan Orang dalam Bisnis Penempatan Buruh Migran” pada 30 Juli 2020 lalu menemukan rantai pasok, cara, proses, dan eksploitasi untuk kepentingan perdagangan orang yang dialami oleh pekerja/buruh migran yang umumnya bekerja sebagai pekerja rumah tangga (PRT).
Melihat banyaknya catatan kasus kekerasan dan TPPO yang begitu tinggi dan terus terjadi di Indonesia, DPR justru menyandera pembahasan RUU PRT selama hampir dua dekade. Hal ini justru memunculkan indikasi bahwa Indonesia masih mengamini praktik perbudakan modern dengan membiarkan jutaan PRT bekerja tanpa perlindungan hukum.
Berangkat dari situ, pada hari Minggu 6 Agustus 2023 diadakan Konferensi Pers yang bertempat di Gedung YLBHI, Jakarta Pusat. Dalam Konferensi Pers tersebut dijelaskan bahwa dalam menyikapi lambatnya proses pembahasan dan pengesahan RUU PPRT. Maka, berbagai elemen dari masyarakat sipil akan bergabung melakukan aksi Aksi Mogok Makan/Berpuasa hingga disahkannya RUU PPRT menjadi Undang-Undang.
Aksi Mogok Makan tersebut akan dilakukan mulai tanggal 14 Agustus 2023 di depan Gedung DPR/MPR RI. Aksi tersebut bertujuan untuk menuntut dan menekan pihak DPR sebagai lembaga pembentuk Undang-Undang untuk dengan segera mungkin mengesahkan RUU PPRT menjadi Undang-Undang.
Aksi Mogok Makan sendiri dipilih sebagai simbolisasi keprihatinan dan solidaritas kepada para PRT yang korban penyanderaan dalam kelaparan tak terlihat. Penundaan pembahasan dan pengesahan RUU PPRT sama artinya dengan pembiaran praktik penyanderaan terhadap PRT.
Untuk itu kami masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Mogok Makan Untuk UU PPRT mendorong, menekan, dan mendesak DPR untuk mempercepat dengan sesegera mungkin pembahasan dan pengesahan RUU PPRT menjadi UU PPRT dan memberikan jaminan perlindungan secara hukum terhadap PRT.
Jakarta, 6 Agustus 2023
Hormat Kami,
Aliansi Mogok Makan Untuk UU PPRT
Narahubung :
Lita – JALA PRT
M Isnur – YLBHI
Alif – LBH Jakarta
Tyas – Perempuan Mahardhika
Eka – Koalisi Perempuan Indonesia
Rena – Kalyanamitra