Siaran Pers YLBHI
PIDATO PRESIDEN RI 16 AGUSTUS 2023: FATAMORGANA CAPAIAN HUKUM DAN HAM PEMERINTAH
YLBHI memberikan pandangan kritis mengenai pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo yang disampaikan di depan Dewan Perwakilan Rakyat pada 16 Agustus 2023 sebagai berikut:
Joko Widodo menyatakan bahwa Indonesia memiliki international trust. Namun, kepercayaan internasional tersebut justru mengebiri kesejahteraan rakyat. Hutang luar negeri Indonesia justru semakin gemuk guna melancarkan agenda ekonomi oligarki. Sebagai contoh adalah agenda reforma agraria yang didanai oleh Bank Dunia yang semakin mempermudah perusahaan-perusahaan perusak lingkungan membidik tanah-tanah rakyat. Nyatanya, kepercayaan internasional juga tidak digunakan oleh Joko Widodo untuk mendorong pemajuan HAM di Asia Tenggara dengan ketidak tegasannya melawan Junta Militer Myanmar.
Presiden Joko Widodo juga menyebut bahwa Indonesia telah konsisten dalam menjunjung Hak Asasi Manusia, kemanusiaan, dan kesetaraan. Pada nyatanya, skor indeks demokrasi di Indonesia mengalami penurunan terburuk semenjak 1 dekade terakhir yang ditandai dengan semakin menyempitnya kebebasan sipil. Rakyat semakin takut berpendapat. Penurunan tersebut dengan sendirinya secara tidak langsung telah diafirmasi oleh Jokowi dalam pidato tersebut dengan mengatakan bahwa “kebebasan dan demokrasi digunakan untuk melampiaskan kedengkian dan fitnah”. Jokowi juga terbukti tidak punya niat baik untuk menegakkan HAM. Hal ini dibuktikan dengan mangkraknya banyak kasus pelanggaran HAM masa lalu atau langkah pencitraan dengan penyelesaian melalui Perpres penyelesaian pelanggaran HAM non judicial yang tak sejalan dengan standar pemenuhan hak korban. Bahkan, pelanggaran HAM justru terus dilakukan negara dengan bentuk-bentuk kebijakan yang menindas hak- hak rakyat dan praktik kekerasan brutal yang dilakukan oleh aparat negara terhadap rakyat.
Ambisi Rezim Jokowi dalam mendorong hilirisasi mineral menimbulkan konsekuensi besar bagi keselamatan rakyat dan lingkungan hidup. Hilirisasi mana dilakukan dengan perluasan jaringan infrastruktur melalui Proyek Strategis Nasional (PSN) telah melahirkan kawasan – kawasan industri baru yang menggusur, merampas dan menyingkirkan rakyat dari ruang hidupnya.
Di sisi lain, narasi rezim Jokowi yang menyatakan bahwa hilirisasi mineral akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan serapan tenaga kerja hanyalah omong kosong bahkan berbanding terbalik. Faktanya, operasi pembangunan kawasan industri mengabaikan keberadaan masyarakat setempat dan masyarakat adat beserta hak – hak tradisionalnya (lihat kasus Wawonii, Morowali, Bantaeng, Luwu Timur dan Maluku). Dampak lanjutan dari fakta – fakta tersebut adalah hilangnya pekerjaan dan sumber mata pencaharian masyarakat setempat, konflik sosial, terjadinya bencana alam dalam intensitas yang tinggi misalkan banjir, tanah longsor hingga kekeringan ekstrim yang secara perlahan mengakibatkan tersingkirnya masyarakat dari ruang hidup dan ruang ekologisnya.
Jokowi dalam pidato juga mengatakan bahwa ia telah konsisten menjalankan reformasi struktural. Namun, apa yang disebutnya sebagai reformasi struktural tersebut justru menginjak-injak kesejahteraan rakyat, melanggengkan korupsi. Di tahun 2019, Jokowi bersama dengan DPR kompak melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan merevisi Undang-Undang KPK, Revisi UU MK. Bersama dengan DPR pula, Jokowi mengesahkan produk hukum yang ia gadang-gadang akan menyederhanakan regulasi guna memudahkan proses-proses perizinan–UU Cipta Kerja. Setali tiga uang, produk hukum tersebut tidak hanya menyederhanakan regulasi. Namun juga memperkuat sentralisasi kekuasaan, membahayakan demokrasi rakyat, dan juga yang paling penting bagi rezim–memberi karpet merah investasi.
Masuk akal jika Presiden juga mengatakan bahwa DPR telah menjadi sekutu yang luar biasa besar kontribusinya dalam mendukung reformasi struktural. Ini tidak lain karena, “gotong royong” antara Pemerintah dengan DPR selama Jokowi berkuasa telah menghasilkan kebijakan-kebijakan yang sejalan dengan agenda Pemerintah dan oligarki. Ini menunjukkan mekanisme check and balances substansial antar lembaga negara dalam prinsip trias politica tidak berfungsi. Namun justru menjadi orkestra kong kalingkong Pemerintah dan DPR memproduksi kebijakan-kebijakan pro oligarki. Bahkan ketika UU Cipta Kerja diputus inkonstitusional bersyarat oleh MK dan Presiden dan DPR diperintahkan merevisi justru terbit Perpu ilegal. Minusnya oposisi di dalam lembaga-lembaga pemerintahan Indonesia saat ini menunjukkan lahirnya kembali watak-watak otoritarianisme negara.
Jokowi dalam pidatonya juga mengapresiasi kinerja Mahkamah Agung–menghubungkan dengan perkara teknis sistem peradilan elektronik, transparansi, dan juga biaya penanganan perkara. Namun, substansi keberadaa Lembaga yudikatif Mahkamah Agung bukan di situ. Lembaga MA justru masih menjadi pusat pusaran korupsi peradilan. MA selama ini juga turut berkontribusi dalam melemahnya upaya pemberantasan korupsi dengan obral diskon masa hukuman kepada para koruptor melalui proses peninjauan kembali.
Mahkamah Agung justru menunjukkan kelemahannya terhadap independensi kekuasaan kehakiman yang harus dijunjung tinggi. Ini terlihat dalam kasus dimana Luhut Binsar Panjaitan Menteri Koord Marves yang mampu memblokade akses peradilan untuk perkara-perkara lain di Pengadilan Negeri Jakarta Timur ketika dirinya dihadirkan sebagai saksi dalam sidang kasus kriminalisasi Haris dan Fatia. Tak hanya itu, kita melihat pengadilan HAM Kasus Paniae dan Sidang Tragedi Kemanusiaan Kanjuruhan yang mempermainkan rasa keadilan masyarakat.
Jokowi terlihat menggiring opini publik dengan mengarahkan penilaian kinerja lembaga yudikatif pada kinerja-kinerja teknis semata–termasuk apresiasinya terhadap lembaga MK. Nyatanya, revisi UU MK yang menguntungkan para hakimnya, pemberian tanda jasa bintang mahaputra kepada para hakim MK, termasuk pernikahan adik Presiden Jokowi, Hakim Ketua MK Anwar Usman telah membawa lembaga garda terakhir penjaga konstitusi terjebak pusaran conflict of interest. Independensi Mahkamah Konstitusi juga semakin limbung dengan putusan komprominya dalam gugatan UU Cipta Kerja. Apalagi recall ilegal Hakim Aswanto oleh DPR. Kini, MK telah berubah dari fungsi idealnya sebagai garda terakhir penjaga konstitusi menjadi garda terakhir penjaga oligarki dan kekuasaan.
Dalam pidatonya, Jokowi juga absen terhadap beberapa hal. Pertama, tidak segera dibahas dan disahkannya Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat dan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga yang selama ini konsisten didorong oleh rakyat guna melindungi hak asasi dua kelompok masyarakat tersebut. menunjukkan bahwa Jokowi hanya memberikan apresiasi terhadap kinerja DPR meloloskan berbagai produk kebijakan yang menguntungkan oligarki. Kedua, Jokowi juga absen membahas masalah kemanusiaan dan pelanggaran HAM di Papua. Tentu keabsenannya itu sejalan dengan kebohongannya bahwa pemerintah masih konsisten menjaga hak asasi manusia warga negaranya. Terakhir, reformasi sektor kepolisian juga absen dalam “reformasi struktural” yang terus menerus disebut oleh Jokowi dalam pidato.
Pidato Jokowi yang masih mementingkan angka pertumbuhan ekonomi, komentar sinis terhadap kebebasan dan demokrasi, hingga janji manis penuh ilusi terhadap komitmen menjaga HAM membuktikan bahwa elit oligarki masih bebas menari di atas penderitaan rakyat di umur Indonesia yang sudah menginjak usia 78 tahun ini.
Jakarta, 16 Agustus 2023
PENGURUS YLBHI