Siaran Pers
Pernyataan LBH-YLBHI dalam Perayaan Hari Perempuan Internasional
Mundurnya Demokrasi, Hancurnya Negara Hukum dan Abainya Negara pada Kebijakan Perlindungan Perempuan
Lita berdiri lantang dengan mengepalkan tangan kirinya ke atas langit, berdiri tepat di depan pagar rumah wakil rakyat. Ada kain dengan motif kotak-kotak terikat di dahinya, simbol perlawanan dari ratusan bahkan ribuan perempuan Pekerja Rumah Tangga. Sudah hampir 200 hari, Lita atau rekannya yang tergabung dalam organisasi JALA PRT setiap hari berdiri di depan DPR, menagih janji wakil rakyat untuk segera #sahkanRUUPPRT.
Aksi perempuan Pekerja Rumah Tangga ini hanyalah satu dari sekian aksi perlawanan perempuan di Indonesia. Mereka menjadi garda terdepan aksi massa, menuntut keadilan, kesetaraan, dan kesejahteraan serta penghidupan yang layak. Jauh sebelum aksi ini dilakukan, di belahan dunia lain, 15.000 perempuan pekerja di New York, Amerika Serikat, turun ke jalan pada tahun 1908. Mereka menuntut standar upah layak, hak untuk memilih dan pemangkasan jam kerja untuk para pekerja. Tahun itu, menjadi sejarah gerakan perempuan global. Selanjutnya, 8 Maret 1917, perempuan di Rusia melakukan aksi mogok kerja untuk menuntut Roti, Tanah, dan Perdamaian di tengah perang. Tanggal 8 Maret ini pulalah yang kemudian selalu dirayakan sebagai Hari Perempuan Internasional.
Peringatan Hari Perempuan Internasional di Indonesia pada tahun 2024 menjadi momen penting bagi gerakan masyarakat sipil. Hal ini berkaitan dengan tahun politik, yakni diselenggarakannya pemilihan umum (Pemilu) dan pemilihan kepala daerah (Pilkada). Evaluasi kekuasaan Joko Widodo yang sudah berjalan selama 2 periode, serta banyaknya kecurangan yang terjadi sepanjang pelaksanaan pemilu, dimulai dari pelanggaran konstitusi hingga administrasi negara, menjadi sebuah momentum penting tidak akan dilewatkan oleh gerakan perempuan.
Mundurnya Demokrasi, Hancurnya Negara Hukum dan Abainya Negara pada Kebijakan Perlindungan Perempuan
Praktik penghancuran demokrasi dan negara hukum oleh rezim pemerintahan Presiden Joko Widodo ditandai dengan lahirnya kebijakan di berbagai sektor yang menjadi ancaman serius bagi hak asasi manusia, terlebih lagi hak-hak perempuan. Paling terkini ditandai dengan pelanggaran hukum dan etika serius oleh Presiden dengan berpihak, juga menyalahgunakan kewenangannya mendukung salah satu paslon pada Pemilu 2024. Tak hanya itu, kemunduran demokrasi di era Jokowi juga ditandai dengan terus terjadinya ancaman, represi kriminalisasi terhadap kemerdekaan berkumpul, berpendapat dan berekspresi warga negara yang menyerukan kritik terhadap penyimpangan-penyimpangan yang terjadi. Bahkan represi kekuasaan juga terjadi sampai ke ruang-ruang akademik. Tidak cukup berhenti di situ, represi tak jarang berujung memakan korban nyawa.
Keputusan maupun kebijakan yang diambil pada Rezim Jokowi kemudian banyak melanggengkan kekuasaan Penguasa dan Oligarki. LBH-YLBHI mencatat beberapa kebijakan yang hadir dan menghancurkan demokrasi seperti pelemahan KPK, revisi kedua UU ITE, Pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja hingga Revisi UU Minerba. Naasnya, dibalik rentetan kebijakan tersebut, Pemerintah abai terhadap kebijakan yang berpihak pada perlindungan perempuan seperti tidak kunjung segera mengesahkan RUU PPRT dan tidak segera memproses pengesahan 5 (lima) Peraturan Presiden dan 5 (lima) Peraturan Pemerintah sebagai aturan turunan yang diamanatkan oleh UU TPKS;
LBH-YLBHI mencatat adanya beberapa kebijakan Negara yang kemudian tidak berpihak pada masyarakat, khususnya pada perempuan. Berikut catatan LBH-YLBHI dari penanganan dan pemantauan kasus selama tahun 2023.
1. Perempuan pembela HAM dan Pejuang Lingkungan rentan intimidasi dan kriminalisasi
Kami memotret ragam bentuk kekerasan, diskriminasi bahkan kriminalisasi terhadap perempuan pembela HAM dan pengelolaan sumber daya alam. Sebagai kelompok yang memiliki peran sosial paling banyak dalam memelihara dan mengelola sumber daya alam, Perempuan menjadi entitas pertama yang merasakan dampak kerusakan lingkungan.
Di Takalar, Sulawesi Selatan, perempuan petani harus berebut lahan selama puluhan tahun dengan perusahaan raksasa PTPN. Pada wilayah pesisir, reklamasi Center Point of indonesia (CPI) dan Makassar New Port (MNP), menjadi momok menakutkan bagi kelangsungan hidup Perempuan Kodingareng, Perempuan Nelayan Tallo dan Perempuan Pulau Lae-Lae, Mereka, menanggung biaya pembangunan, namun tidak ikut merasakan manfaatnya. Mereka yang awalnya berprofesi sebagai Petani dan Nelayan harus memutar otak mencari sumber penghidupan lain, karena Tanah dan Lautnya telah dirampas. Di tengah kota, ada mama-mama Barabaraya, yang sudah 7 tahun lamanya bertahan dari ancaman penggusuran. Aksi, diskusi dan pasar barbar sebagai ekonomi tanding Perempuan, dilakukan sebagai bentuk perlawanan. Pada 5 Maret 2024, Polda Sultra menetapkan 2 orang warga sebagai Tersangka. Salah satunya Ibu Hasilin, perempuan pejuang penolak tambang Nikel dari Konawe Selatan, yang hari ini sedang berhadapan dengan ancaman pidana.
Di Bandung, seluas 6,9 hektar tanah di Dago Elos beresiko dihadapkan dengan ancaman penggusuran. Warga Dago Elos dihadapkan dengan PT. Dago Inti Graha dan Trio Muller Cs atas sengketa tanah hak waris keturunan Belanda. Perjuangan warga Dago Elos tidak terlepas dari ibu-ibu yang dimana menjadi garda terdepan mempertahankan tanah dan lingkungan hidupnya.
14 Agustus 2023 menjadi puncak dari meluapnya emosi warga Dago Elos karena pihak kepolisian enggan untuk menerima laporan warga dengan alasan warga tidak memiliki sertifikat tanah. Warga yang didominasi oleh Ibu-ibu dan Lansia kemudian memblokade jalan Dago di depan terminal Dago Elos. Aparat kepolisian merespon dengan melakukan represifitas dengan dalih penertiban. Malam itu, gas air mata ditembakkan ke arah pemukiman warga yang dimana di sekitar pemukiman warga terdapat ibu-ibu, anak-anak, hingga lansia yang menjadi korban.
Memperjuangkan tanah dan lingkungan hidup bukanlah suatu tindak kriminal, dan perampasan tanah adalah pelanggaran atas hak hidup hingga rasa aman masyarakat. Dan seringkali kita lupa bahwa adanya perampasan tanah adalah suatu bentuk perampasan ruang hidup juga, yang dimana terdapat cerita didalamnya, tentang seorang ibu yang memperjuangkan tanahnya demi keberlangsungan hidup anaknya di masa yang akan datang, juga tentang bagaimana seorang perempuan yang rela menahan rasa takutnya untuk berhadapan langsung dengan tindakan represif hingga brutalitas aparat demi menenangkan anaknya yang juga sedang ketakutan. Dan penggusuran ini menjadi bukti atas kebengisan pemerintah yang berkuasa pada rezim saat ini yang jauh dari rasa adil serta menindas masyarakatnya demi perluasan kekuasaan ataupun hanya sekedar memuaskan nafsu visualnya.
2. Pembahasan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) yang lambat
Semangat rezim Jokowi untuk mempermudah investasi dan akumulasi kekayaan terlihat jelas dari lahirnya berbagai kebijakan kontroversial yang cenderung menguntungkan para investor. Namun, ironisnya pemerintah justru menunjukkan kelalaian yang memprihatinkan dalam memenuhi hak-hak Pekerja Rumah Tangga (PRT) dengan membiarkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) terkatung-katung selama lebih dari 2 dekade. Padahal PRT selama ini sangat rentan terhadap eksploitasi, pelecehan, dan kondisi kerja yang tidak manusiawi.
Selama lima tahun terakhir (2018 – 2023) Jaringan Advokasi Nasional Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) mendokumentasikan 2.641 insiden kekerasan yang terjadi pada pekerja rumah tangga. Kekerasan tersebut umumnya mencakup aspek psikologis, fisik, dan ekonomi yang terjadi di tempat kerja mereka. Para pekerja rumah tangga seringkali dihadapkan pada situasi yang mengkhawatirkan, seperti tidak mendapat kenaikan upah setelah bertahun-tahun bekerja, atau bahkan tidak menerima upah selama beberapa bulan, bisa mencapai 2 hingga 11 bulan gaji. Lebih lanjut, terdapat insiden pemecatan sepihak atau pemotongan upah ketika mereka sakit dan tidak bisa bekerja. Keterbatasan akses terhadap layanan kesehatan juga menjadi kendala serius. Ironisnya, dalam beberapa kasus, pesangon tidak diberikan ketika mereka di-PHK.
Lebih lanjut, angka kasus kekerasan yang menimpa PRT juga cukup tinggi, sepanjang Februari 2024 saja setidaknya ada 3 kasus kekerasan PRT yang terungkap. Kemudian, selang beberapa hari kembali terungkap 5 PRT yang berusaha kabur dari rumah majikannya di Jakarta Timur karena diduga disekap dan disiksa majikan mereka sehingga kemudian nekat melarikan diri dengan cara memanjat dan menerobos pagar, lalu melompat keluar rumah hingga terluka. Kasus-kasus diatas menunjukkan betapa lemahnya posisi PRT dan para pelaku kekerasan terhadap PRT pun cenderung mendapatkan hukuman ringan atau bahkan bebas.
3. Undang-Undang Cipta Kerja merugikan buruh perempuan
Sejak tahun 2021 pasca Omnibus Law Cipta Kerja diberlakukan pemerintah menghapuskan variabel “kebutuhan hidup layak” sebagai pertimbangan dalam penetapan upah minimum sebagai rujukan penghitungan upah minimum yang berdampak pada bergesernya konsep perlindungan pengupahan secara luas. Sehingga Kenaikan upah tidak akan pernah mencapai kebutuhan hidup layak. Pemerintah mengeluarkan PP No.36 Tahun 2021 lalu direvisi menjadi PP No.51 Tahun 2023 tentang Pengupahan, yang menggunakan 3 variabel : pertumbuhan ekonomi, inflasi dan indeks tertentu dengan rumus nilai alfa (a) yang justru mengurangi nilai angka upah buruh. Pengurangan upah buruh yang paling mencolok adalah terkait upah sektoral yang sudah tidak diberlakukan lagi sejak tahun 2021 dan tidak ada kenaikan lagi hingga sekarang. Bahkan di awal tahun 2023 Menteri Ketenagakerjaan juga menerbitkan Permenaker No.5/2023 yang melegitimasi pemotongan upah buruh hingga 30%/bulan dan perubahan waktu kerja sepihak bagi buruh di sektor industri perempuan.
Undang-undang Cipta Kerja memang efektif merugikan buruh perempuan. Berkebalikan dengan namanya, undang-undang ini justru menghilangkan akses kerja, termasuk bagi para perempuan. Dengan diperluasnya cakupan status kerja alih daya termasuk ke produksi inti, buruh-buruh perempuan semakin rentan status kerjanya dan hilangnya jaminan pesangon ketika diputus hubungan kerja. Nyata, sudah ada ratusan ribu buruh perempuan di sektor garmen yang mengalami PHK massal di Indonesia semenjak tahun 2022. Tren PHK massal ini masih terus terjadi hingga saat ini.
4. Pelaksanaan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) belum maksimal
YLBHI dan 18 LBH kantor menangani 275 kasus berkaitan dengan kekerasan berbasis gender selama 2 tahun terakhir. Penanganan kasus ini mengalami tantangan dan hambatan-hambatan advokasi. UU TPKS sebagai sebuah regulasi hukum progresif yang telah disahkan dan berlaku tentu menjadi angin segar dalam kerja-kerja advokasi bantuan hukum struktural, sebagai sarana untuk mendekatkan acces to justice bagi siapapun yang rentan menjadi korban kekerasan berbasis gender. Juga, sebagai sarana mewujudkan ruang aman di Indonesia.
Sayangnya, 2 tahun setelah peraturan ini disahkan, implementasinya belum dapat memenuhi kebutuhan korban. Peraturan turunan UU TPKS yang tak kunjung disahkan, menyisakan beberapa kendala tersendiri dalam upaya advokasi seperti belum siapnya infrastruktur dan juga anggaran. Permasalahan anggaran ini menjadi salah satu alasan beberapa daerah seakan tidak siap ketika mendapatkan rujukan untuk pemulihan dan perlindungan korban. Sebagai contoh akses terhadap rumah aman/shelter bagi korban kepada salah satu dinas, akan tetapi pendamping dan korban justru “dilempar-lempar” dari satu dinas ke dinas lainya dengan berbagai alasan. Masalah lain yang serupa adalah alur birokrasi yang cukup berbelit dan panjang sehingga mempersulit korban dalam mengakses layanan pemulihan psikis. Biasanya ketiadaan anggaran membuat suatu dinas secara terbatas untuk memberikan pendampingan. Selain itu dengan “melempar-lemparnya” korban dan pendamping serta alur birokrasi yang rumit memberikan efek semakin buruknya kondisi psikologis korban karena tidak segera ditangani dan diupayakan pemulihannya.
Contoh lain belum maksimalnya penerapan UU TPKS juga terkait pasal-pasal pemerkosaan dan pelecehan seksual yang tidak bisa diterapkan di Aceh, mengingat di Aceh sampai dengan hari ini masih menggunakan Qanun Jinayat. Bahkan dalam beberapa kasus, UU TPKS tidak masuk dalam sistem pelaporan di Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT), itu artinya UU TPKS khususnya terkait dengan kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual sama sekali bisa diterapkan di Aceh.
Di sisi lain, para Aparat Penegak Hukum (APH) juga belum memahami sepenuhnya perspektif UU TPKS. Dalam pelaporan ke kepolisian, laporan korban justru ditolak dengan alasan baru mengetahui adanya UU TPKS. Kepolisian dalam proses pemeriksaan justru cenderung memberi pertanyaan yang menyudutkan bahkan menyalahkan korban. Padahal dalam UU TPKS sendiri dengan terang mengatur bahwasanya APH harus menjunjung tinggi hak asasi manusia, kehormatan dan martabat korban tanpa intimidasi dan tidak menyalahkan cara hidup dan kesusilaan, termasuk pengalaman seksual dengan pertanyaan yang bersifat menjerat atau menimbulkan trauma bagi korban atau yang tidak berhubungan dengan tindak pidana kekerasan seksual. Hal ini menunjukkan pengetahuan dan perspektif APH yang masih minim mengenai UU TPKS. Dari salah satu kasus yang terjadi di Bali, hakim dalam mengadili korban kekerasan seksual justru menjatuhkan putusan yang tidak mempertimbangkan relasi kuasa. Putusan yang bias gender semakin memperlemah posisi korban baik di lingkungan keluarga dan masyarakat, memburuknya trauma psikologis korban, dan mempertebal stigma atau stereotip korban, serta memperkuat maskulinitas pelaku yang rata-rata berjenis kelamin laki-laki. Selain itu, penyidik alih-alih fokus pada aduan yang ditujukan kepadanya, justru semakin memojokkan korban dan tak jarang menolak laporan karena nilai-nilai seksime yang dianutnya. Tidak heran jika angka kekerasan terus meningkat karena keberadaan UU TPKS yang belum implementatif.
5. Perda diskriminatif pada kelompok minoritas gender dan seksual semakin banyak
Kekerasan pada LGBT semakin sering terjadi, termasuk diskriminasi, kesulitan dalam mendapatkan layanan hingga akses fasilitas publik yang sulit. Hal ini seringkali dianggap sebagai salah satu hal yang wajar oleh sebagian orang. Dalam 3 tahun terakhir, Perda diskriminatif terhadap kelompok minoritas gender dan seksual semakin banyak. Diterbitkannya berbagai perda diskriminatif di berbagai daerah secara tidak langsung berpotensi memperluas diskriminasi pada kelompok minoritas. Negara yang berkewajiban menghormati dan melindungi hak asasi warga negaranya hari ini justru menjadi pihak yang melanggengkan diskriminasi dan persekusi. Tindakan ini justru bertentangan dengan tanggung jawab negara untuk memberikan rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
Pada tahun 2021, beberapa organisasi keagamaan mengusulkan draft RanPerda Kota Makassar tentang Anti LGBT. Perda ini sempat dibahas dan dicanangkan disahkan pada tahun 2023. Di Jawa Barat yang heterogen justru menghadirkan perda-perda yang diskriminatif dan menyasar satu kelompok tertentu. Dimulai oleh Bupati Cianjur pada tahun 2020 mengesahkan Perbup Anti LGBT, Disusul oleh Walikota Bogor pada tahun 2021 mengesahkan Perda P4S (Pencegahan dan penanggulangan Perilaku Penyimpangan Seksual). Tidak mau kalah Bupati Garut juga menyusul menghadirkan Perbup Anti LGBT pada tahun 2023. Bahkan di tahun 2023, Walikota Bandung juga merencanakan Perda anti LGBT. Pemerintah Pusat justru membiarkan perda-perda diskriminatif tersebut terus menjamur di berbagai daerah. Lain sikap dengan tindakan Jokowi melalui Kementerian Dalam Negeri menganulir lebih dari 3000 perda yang dianggap menghambat investasi.
6. Nir Komitmen Negara Dalam Menjamin Keterlibatan Perempuan dalam Politik
Pemilu 2024 lagi-lagi memperlihatkan ketidakseriusan negara dalam menjamin pemenuhan hak perempuan untuk terlibat dalam kancah politik. Walaupun Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 dan regulasi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah secara tegas mengatur keterwakilan perempuan dalam politik, realitas di lapangan menunjukkan bahwa komitmen untuk memenuhi hak-hak perempuan dalam ranah politik masih jauh dari yang diharapkan. Meskipun persyaratan kuota 30% untuk perempuan dalam partai politik menjadi syarat untuk mengikuti pemilu, Pemilu 2024 menunjukkan bahwa mayoritas partai politik tidak memenuhi kewajiban tersebut, dengan pelanggaran terhadap Pasal 460 ayat (1) UU Pemilu. Bahkan, sejak diberlakukannya aturan afirmasi untuk keterwakilan perempuan, belum pernah terjadi pelanggaran sebesar ini, di mana mayoritas partai politik dengan jelas melanggar aturan, dan yang lebih mencemaskan, KPU membiarkan pelanggaran tersebut terjadi.
Selain itu, partisipasi perempuan dalam Pemilu hanya sebatas pelengkap untuk memenuhi persyaratan partai politik untuk maju dalam kontes Pemilu. Fenomena ini memperlihatkan bahwa, meskipun ada upaya formal untuk memastikan keterwakilan perempuan dalam politik, praktik politik yang terjadi masih jauh dari aspirasi untuk kesetaraan gender dalam arena politik. Beberapa faktor mungkin menjadi penyebabnya, termasuk dominasi kultur patriarki yang masih kuat, kurangnya kesadaran dan pendidikan politik bagi perempuan, serta kurangnya penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran aturan.
Melihat situasi di atas, pada hari Perempuan Internasional tahun 2024 ini, LBH-YLBHI mendesak Presiden dan DPR RI untuk:
- Merumuskan kebijakan yang dapat mengakomodir perlindungan bagi perempuan pembela HAM dan pejuang lingkungan;
- Segera membahas dan mengesahkan RUU PPRT;
- Cabut Undang-Undang Cipta Kerja inkonstitusional;
- Mempercepat proses pengesahan Peraturan Presiden dan Peraturan Pemerintah sebagai aturan turunan yang diamanatkan oleh UU TPKS;
- Menghentikan segala bentuk diskriminasi, kekerasan, marginalisasi, stereotyping, penindasan terhadap perempuan maupun kelompok minoritas gender dan seksual baik di ruang publik, domestik, maupun di lingkungan konflik;
- Mencabut dan/atau merevisi perda-perda diskriminatif di berbagai daerah yang menyasar kepada kelompok tertentu demi menjamin perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan hak setiap orang dan kesetaraan gender;
- Memastikan penguatan pendidikan dan kultur dalam struktur aparat penegak hukum terkait UU TPKS yang berperspektif korban untuk memastikan terselenggaranya proses penegakan hukum yang berkeadilan, berperspektif korban serta adil gender.
Jakarta, 7 Maret 2024
Pengurus YLBHI dan 18 kantor LBH