Skenario Busuk Proses Peradilan Terdakwa Anggota Kepolisian Penembak Demonstran di Bangkal-Seruyan: Vonis 10 Bulan Penjara Tidak Berpihak Pada Keadilan

Skenario Busuk Proses Peradilan Terdakwa Anggota Kepolisian Penembak Demonstran di Bangkal-Seruyan

Siaran Pers
Tim Advokasi Solidaritas Untuk Masyarakat Adat Bangkal
“Skenario Busuk Proses Peradilan Terdakwa Anggota Kepolisian Penembak Demonstran di Bangkal-Seruyan: Vonis 10 Bulan Penjara Tidak Berpihak Pada Keadilan”

 

Palangka Raya-Kalteng 10 Juni 2024, Tim Advokasi Solidaritas Untuk Masyarakat Adat Bangkal mengecam putusan majelis hakim dalam perkara nomor 55/Pid.B/2024/PN Plk yang memvonis ringan terdakwa Iptu Anang Tri Widodo (ATW) anggota Yon A Pelopor Brimob Polda Kalteng dalam kasus penembakan terhadap masyarakat adat hingga menyebabkan satu korban meninggal dunia dan satu lainnya mengalami luka berat. Terdakwa Iptu ATW divonis bersalah melanggar Pasal 359 KUHP dengan hukuman penjara selama 10 bulan. Selain peradilan yang sejak awal memang dirancang untuk gagal (intended to fail), putusan ini mencerminkan betapa buruknya penegakan hukum terhadap anggota kepolisian yang melakukan pelanggaran hukum dan HAM serius.

Sebelumnya, pada 7 Oktober 2023 masyarakat adat dari Desa Bangkal Seruyan, Kalimantan Tengah melakukan penyampaian pendapat dimuka umum guna menuntut hak kepada PT. Hamparan Masawit Bangun Persada (PT. HMBP). Aksi yang semula damai tersebut kemudian berubah menjadi malapetaka ketika pasukan kepolisian yang dipersenjatai dengan gas air mata serta peluru tajam menembak serta mengarahkannya ke massa aksi. Akibatnya, satu orang bernama Gijik meninggal dunia di tempat dan satu lainnya yakni Taufik mengalami luka berat.

Selama proses peradilan berjalan, Tim Advokasi Solidaritas Untuk Masyarakat Adat Bangkal melakukan pemantauan proses peradilan terhadap terdakwa Iptu ATW. Proses pemantauan peradilan ini dilakukan secara langsung. Dalam pemantauan tersebut, kami menemukan sejumlah fakta dan keganjilan atas proses hukum terhadap terdakwa yakni sebagai berikut:

Pertama, pasal dalam Dakwaan Jaksa menihilkan pasal pembunuhan berencana. Tim JPU mendakwa  Iptu Anang Tri Widodo dengan dakwaan menggunakan Pasal 351 (3), 351 (2), dan 360 KUHP. Penggunaan pasal-pasal tersebut kami yakini dilakukan dengan sengaja dan bertujuan untuk menuntut ringan Terdakwa. Sebelumnya penerapan pasal-pasal janggal ini telah keluarga dan tim advokasi prediksi sebelum berkasnya dilimpahkan ke PN Palangka Raya. Pada 1 Desember 2023, keluarga korban dan tim advokasi mengirimkan surat ke Kejati Palangka Raya agar JPU memasukan Pasal 340 jo 338 KUHP dan disertai dengan bukti video yang merekam adanya perintah dari arah aparat keamanan berupa “bidik kepalanya, bidik kepalanya”. Kemudian pada 14 Maret 2024, surat dengan substansi serupa dikirimkan kembali ke Kejati Palangka Raya. Hingga agenda pembacaan surat dakwaan yang dilakukan pada 26 Maret 2024, pasal pembunuhan berencana urung dimasukan ke dalam dakwaan JPU.

Kedua, konflik kepentingan kuasa hukum Terdakwa yang merupakan anggota Polri aktif berasal dari Bidkum Polda Kalteng. Kejanggalan lain yang kami temui selanjutnya adalah keterlibatan Bidang Hukum Polda Kalteng sebagai Tim Penasihat Hukum Terdakwa Iptu Anang Tri Widodo. Perlu ditegaskan bahwa kejahatan yang dilakukan Iptu Anang Tri Widodo dengan menembak demonstran dalam aksi damai telah mencoreng institusi Polri sendiri, di mana yang dilakukan Terdakwa juga merupakan bentuk pelanggaran UU 2/2002 tentang Kepolisian. Terlibatnya anggota Polri aktif sebagai kuasa hukum jelas telah menimbulkan konflik kepentingan dalam membongkar fakta peristiwa yang terjadi secara tuntas. Terlebih, proses hukum di tingkat penyidikan seperti penetapan status tersangka, pemeriksaan dan penahanan dilakukan oleh institusi kepolisian Polda Kalteng.

Ketiga, perbuatan penembakan yang dilakukan oleh Iptu Anang Tri Widodo telah direncanakan dan bersesuaian dengan alat bukti serta keterangan ahli di pengadilan. Fakta persidangan telah terungkap bahwa peluru tajam yang digunakan oleh Iptu Anang Tri Widodo telah dipersiapkan jauh sebelum tiba di lokasi penembakan. Terdapat tiga jenis magazin bertanda khusus yang dibawa Iptu Anang Tri Widodo, yakni magazin dengan tanda merah berisi 20 peluru hampa; magasin hijau berisi 17 peluru karet dan 3 peluru hampa; dan magasin kuning berisi 16 peluru tajam. Iptu Anang Tri Widodo yang dibekali senapan serbu jenis AK-101 bernomor seri 161216553 kemudian menembak menggunakan magasin kuning dengan jarak tembak 96,8 meter ke arah Alm Gijik dan Taufik. Keterangan Ahli balistik Sopan Utomo yang dihadirkan menyatakan bahwa jarak tembak efektif senjata AK-101 ini berjarak 500 meter, jika kemudian jarak tembaknya 96,8 meter maka dapat dipastikan akan menembus objek sasaran dan laju proyektilnya baru berhenti jika menabrak benda keras. Jika dikaitkan dengan fakta temuan investigasi, terdapat keterangan saksi bahwa ketika terdengar letusan senjata api terlihat Alm Gijik dan Taufik jatuh tersungkur secara bersamaan. 

Keempat, tim penyidik Polda Kalteng telah gegabah dan tidak profesional dalam menyimpan alat bukti. Selanjutnya fakta ketidakprofesionalan penyidik polisi terungkap dalam persidangan dengan agenda pemeriksaan ahli Deoxyribonucleic Acid (DNA) Setia Betaria Aritonang. Ahli menyatakan bahwa terdapat sampel darah yang terdapat dalam sebuah batu. Namun, ketika hendak diperiksa sampel darah tersebut mengalami kerusakan/pembusukan karena akibat tim penyidik menyimpannya tidak sesuai standar operasi  prosedur. Hal ini tentu dapat dikategorikan sebagai tindak pidana melanggar Pasal 233 KUHP tentang pengrusakan barang bukti. Tak hanya itu, ketidakprofesionalan penyidik tersebut telah melanggar aturan internal kepolisian seperti Perkap 8/2014 tentang Pengelolaan Barang Bukti di Lingkungan Polri dan Perkap 6/2019 tentang Manajemen  Penyidikan Tindak Pidana.

Kelima, instruksi tembak dan bidik kepala terbukti berasal dari anggota kepolisian. Pada 28 Mei 2024, sidang dilanjutkan dengan agenda pemeriksaan saksi yakni Ampi Mesias Von Bulow yang merupakan mantan Kapolres Seruyan. Dalam keterangannya, Ampi membenarkan bahwa terdapat instruksi “bidik kepalanya” yang keluar dari barisan aparat kepolisian. Hal ini kemudian juga memicu tindakan penembakan yang dilakukan oleh Iptu Anang Tri Widodo didahului atas perintah. Oleh karena fakta tersebut, hemat kami unsur dengan rencana dalam ketentuan Pasal 340 KUHP semestinya terpenuhi. Terlebih jika ditautkan dengan hasil investigasi terdapat perintah persiapan yang juga terdengar dari mobil komando aparat kepolisian.

Keenam, terdapat pengerahan kekuatan secara berlebihan dengan menerjunkan pasukan Gegana dalam menghadapi demonstran. Dalam fakta persidangan terungkap bahwa peristiwa berdarah 7 Oktober 2023 turut melibatkan aparat keamanan dengan kualifikasi anti teror yakni Pasukan Gegana. Perlu ditegaskan bahwa Pasukan Gegana memiliki tugas khusus sebagai penindak gangguan Kamtibmas berkadar dan berintensitas tinggi khususnya kejahatan terorganisir yang menggunakan senjata api, bom, bahan kimia, biologi, radioaktif, dan perlawanan teror. Artinya, aksi demonstrasi damai yang dilakukan oleh warga masyarakat adat Bangkal ini secara tak langsung distigmatisasi berbuat tindakan teror oleh pasukan keamanan. Hal ini jelas merupakan bentuk pengerahan aparat secara berlebihan (excessive use of force) karena tidak sesuai dengan peruntukannya.

Ketujuh, Jaksa Penuntut Umum dan Majelis Hakim Tidak Mempertimbangkan Permohonan Restitusi LPSK. Selain vonis ringan yang dibacakan majelis hakim, putusan tersebut juga syarat permasalahan karena tidak sama sekali mempertimbangkan surat resmi lembaga negara dengan nomor A.1663/R/KEP/SMP-LPSK/VI tahun 2024 tentang Penilaian Ganti Rugi. Dalam surat tersebut memuat permohonan fasilitasi restitusi berupa ganti rugi korban tindak pidana yang diajukan oleh Ibu Kandung alm Gijik senilai Rp. 2.273.043.500. Sebelumnya, surat tersebut juga telah disubmisi ke Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Kejaksaan Tinggi Kalimantan Tengah pada 5 Juni 2024 dan PTSP Pengadilan Negeri Palangka Raya pada 7 Juni 2024. 

Kedelapan, tuntutan pidana 1 tahun penjara oleh tim JPU terhadap Iptu Anang Tri Widodo menunjukan kegagalan jaksa menegakkan hukum dan melindungi warga negara. Pada 6 Juni 2024, tim JPU membacakan surat tuntutannya dengan hanya meminta kepada majelis hakim menghukum Iptu ATW satu tahun penjara. Selain karena sejak awal pasal-pasal yang didakwakan hanya dapat diancam dengan pidana maksimal 5 tahun, tuntutan jaksa terhadap Iptu Anang Tri Widodo seolah-olah sedang membela Terdakwa agar divonis ringan. Semestinya, JPU hadir di persidangan sebagai representasi korban dan keluarga Alm Gijik dan Taufik untuk mendapatkan keadilan serta jaminan ketidak berulangan dengan cara menghukum berat terdakwa. Bukan justeru mengajukan hukuman ‘ala kadarnya’ yang terkesan melindungi Iptu ATW dari jerak hukum maksimal.

Atas fakta-fakta tersebut kami menilai proses peradilan hingga putusan yang telah dibacakan ini menunjukan precedent buruk bagi penegakan hukum dan HAM, terlebih lagi vonis yang dijatuhkan hanya 10 bulan. Proses penegakan hukum yang telah berjalan memperkuat indikasi peradilan sesat (malicious trial process) terhadap terdakwa yang diadili. Selain itu, kami turut juga melihat bahwa tidak adanya keseriusan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam mengembangkan kasus dengan menjerat keterlibatan pelaku lain termasuk pelaku level atas (actor high level). Jika diteruskan peristiwa semacam ini dapat menciptakan suatu kondisi berupa normalisasi kekerasan di internal Polri dan akibatnya tindakan kekerasan dalam menjalankan tugas menjadi suatu hal yang biasa dan akan terjadi sikap yang permisif jika anggota Polri melakukan kekerasan baik kepada kepada warga sipil.

Atas hal tersebut, kami mendesak:

Pertama, Tim Jaksa Penuntut Umum segera mengajukan upaya banding terhadap Putusan Tingkat Pertama dengan nomor 55/Pid.B/2024/PN Plk;

Kedua, Komisi Kejaksaan harus memeriksa dugaan pelanggaran etik yang dilakukan tim Jaksa Penuntut Umum yang menuntut rendah dan terkesan melindungi Terdakwa Iptu Anang Tri Widodo;

Ketiga, Komisi Yudisial harus mendalami dan memeriksa terkait pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang memeriksa perkara nomor 55/Pid.B/2024/PN Plk dengan putusan rendah;

Keempat, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia memerintahkan Kabareskrim untuk mengusut lebih jauh terhadap aktor intelektual yang diduga kuat terlibat dan belum tersentuh Proses Hukum. Kapolri juga harus segera memerintahkan Kadiv Propam dan Karowassidik Bareskrim memeriksa anggota penyidik kepolisian yang tidak profesional dalam melakukan penyidikan kasus ini. Selain itu, Kadiv Propam juga segera melakukan sidang etik dengan Pemecatan Tidak Dengan Hormat (PTDH) terhadap Iptu Anang Tri Widodo. 

 

Jakarta – Palangka Raya, 12 Juni 2024

Tim Advokasi Solidaritas Untuk Masyarakat Adat Bangkal

 

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palangka Raya, WALHI Kalteng, PW AMAN Kalteng, Save Our Borneo, PROGRESS Kalteng, YBBI, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN),  Perkumpulan Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TuK Indonesia), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Greenpeace Indonesia, Sawit Watch, LBH Genta Keadilan

 

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *