Proyek Strategis Nasional Pengembangan Pangan dan Energi Merauke Berpotensi Melanggar Hak Asasi Manusia dan Memperparah Krisis Ekologi

Proyek Strategis Nasional Pengembangan Pangan dan Energi Merauke Berpotensi Melanggar Hak Asasi Manusia 1

Siaran Pers Yayasan Pusaka Bentala Rakyat dan LBH Papua Pos Merauke
Proyek Strategis Nasional Pengembangan Pangan dan Energi Merauke Berpotensi Melanggar Hak Asasi Manusia dan Memperparah Krisis Ekologi

 

Presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan penanaman tebu perdana di lokasi perusahaan perkebunan tebu PT Global Papua Abadi di Kampung Sermayam, Distrik Tanah Miring, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan, pada 23 Juli 2024. Presiden Jokowi mengatakan bahwa kegiatan ini merupakan langkah strategis dalam menjawab krisis pangan global yang dipicu oleh perubahan iklim yang ekstrim.

Sebelumnya pada November 2023, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menambahkan daftar Proyek Strategis Nasional di Papua yakni Kawasan Pengembangan Pangan dan Energi Merauke di Provinsi Papua Selatan melalui Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Permenko) Nomor 8 Tahun 2023 tentang Perubahan Keempat atas Permenko Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional (PSN). Selanjutnya, Presiden Joko Widodo menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 15 Tahun 2024 tanggal 19 April 2024 tentang Satuan Tugas (Satgas) Percepatan Swasembada Gula dan Bioetanol di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan, dimana Bahlil ditunjuk sebagai Ketua Satgasnya.

Kebijakan dan dukungan negara atas Proyek Strategis Nasional (PSN) Pengembangan Pangan dan Energi ini dibingkai sebagai solusi di tengah krisis. Diskursus, solusi dan kebijakan negara ini bukan pertama kali di Papua, sebelumnya ada Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE), Kawasan Sentra Produksi Pangan (KSPPP), Food Estate Papua, dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Merauke.

Namun, bukan kemakmuran bersama yang dirasakan, tetapi segudang persoalan baru yang bermunculan. Mulai dari pengalihan penguasaan tanah skala luas yang mencapai jutaan hektar melalui praktik tipu muslihat. Sebagai akibatnya, masyarakat adat tereksklusi dan kehilangan kontrol atas tanah dan hutan yang menjadi sumber kehidupan, sulitnya akses atas sumber pangan dan sumber mata pencaharian, penghancuran sistem sosial dan budaya, eksploitasi buruh dan pemberian upah tidak layak, kekerasan, ketidakpatuhan negara dan korporasi dalam pemenuhan janji kesejahteraan dan bagi hasil yang layak, terjadi deforestasi, malnutrisi, pengrusakan ekosistem yang merupakan tempat hidup flora dan fauna, hingga pencemaran air.

“Kami mendokumentasikan praktik perampasan tanah dalam program MIFEE melalui pemberian izin usaha kepada korporasi tanpa informasi dan persetujuan bebas masyarakat adat secara luas. Terjadi penumpukan kekayaan, konsentrasi penguasaan dan pemilikan tanah dan hutan kepada segelintir badan usaha dan grup perusahaan. Ada 38 perusahaan dengan berbagai usaha dan komoditi kelapa sawit, tebu, jagung, hutan tanaman industri, yang menguasai lahan skala luas mencapai 1.588.651 hektar”, ulas Franky Samperante, Direktur Yayasan Pusaka Bentala Rakyat.

Sejak tahun 2010, pengalaman buruk, kepedihan dan penderitaan dari program MIFEE belum mengenal kata berhenti dan semakin menumpuk. Seperti yang dituturkan Teddy Wakum, Ketua Lembaga Bantuan Hukum Papua Pos Merauke.

“Penyimpangan dan dampak program MIFEE masih dikeluhkan masyarakat adat terdampak hingga saat ini. Suku Marind dan buruh Orang Asli Papua di Mam, Muting dan Zanegi, masih menuntut keadilan dan pemulihan hak korban kekerasan, janji perusahaan untuk kesejahteraan dan upah layak”, ungkap Teddy Wakum.

Sejak proyek ini dicanangkan dan kedatangan Presiden Jokowi, kami belum menemukan adanya informasi dan dokumen kajian sosial dan kajian lingkungan hidup strategis, yang semestinya dilakukan sejak awal sebelum proyek dimulai. Pemerintah juga belum melakukan pemberian informasi dan mendapatkan persetujuan masyarakat adat secara luas dalam proses dan penerapan PSN pengembangan gula, bioethanol dan perluasan lumbung pangan, yang akan mempengaruhi sistem kehidupan masyarakat adat dan ekosistem pada wilayah adat.

Pengabaian negara atas hak masyarakat adat untuk membuat keputusan ini melanggar prinsip Free Prior Informed Consent (FPIC) dan peraturan perundang-undangan, seperti UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Daerah Provinsi Papua, Pasal 43 tentang Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat.

Kami juga mengamati peningkatan intensi dari aparat keamanan TNI dan Polri. Mulai dari proses sosialisasi, negosiasi perolehan lahan, hingga pengawalan dan pengamanan peralatan operasi proyek. Situasi ini membuat masyarakat khawatir, dibatasi dan tidak bebas menyampaikan pendapat dan pikirannya.

“Kami mendengar keluhan dari masyarakat adat. Mereka mengalami tekanan dan terdampak proyek, sebagaimana disampaikan masyarakat adat Marind, Yeinan, Kimahima dan Maklew, penduduk asli Papua yang mendiami sebagian besar wilayah Kabupaten Merauke. Kami menilai proyek ini berpotensi melanggar hak asasi manusia, menyangkut hak hidup masyarakat adat, hak atas tanah dan hutan adat, hak bebas berekspresi, hak bebas untuk menentukan pembangunan yang berlangsung di wilayah adat, hak atas pangan, hak atas kekayaan dan pengetahuan intelektual, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat”, jelas Teddy Wakum.

Seolah-olah Papua Tanah Kosong, Pemerintah memberikan rekomendasi dan izin berusaha dalam skala luas kepada segelintir pemilik modal. Pada periode 2023 dan 2024, pemerintah menerbitkan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PKKPR) dan Surat Rekomendasi kepada 9 (sembilan) perusahaan perkebunan tebu, seluas 469.147 hektar yang tersebar di Distrik Tanah Miring, Animha, Jagebob, Eligobel, Sota, Ulilin dan Muting, Kabupaten Merauke. Disamping itu, media baru saja memberitakan keberadaan pengusaha kaya Andi Syamsuddin Arsyad alias Haji Isam didampingi Wakil Menteri Pertahanan (Wamenhan) Letjen TNI (Purn) Muhammad Herindra berada di pelabuhan Wanam, Distrik Ilwayab, Kabupaten Merauke, menurunkan alat berat eksavator yang rencana digunakan dalam program percetakan sawah.

Sembilan perusahaan tersebut tergabung dalam Global Papua Abadi (GPA) Group dan pemilik manfaat (beneficial ownership) adalah keluarga Fangiono pemilik First Resources dan Ciliandry Anky Abadi Group, dan Martua Sitorus pemilik Wilmar Group. Rencana investasi GPA Group untuk pengembangan lahan perkebunan tebu dan infrastruktur  seluas  500.000 hektar dan pembangunan 5 (lima) pabrik pengolahan gula dan bioetanol, seluruh nilainya sekitar Rp. 83 triliun.

Yayasan Pusaka Bentala Rakyat telah melakukan kajian cepat aspek penggunaan kawasan hutan dan lingkungan hidup dari perizinan dan pengembangan industri perkebunan tebu, pabrik gula dan bioetanol, ditemukan sebagian besar izin yang diberikan berada pada Kawasan Hutan Produksi yang dapat Dikonversi sebesar 45 persen, Hutan Produksi Terbatas 30 persen, dan sisanya Areal Penggunaan Lain 25 persen.

“Areal perizinan perkebunan tebu GPA Group berlokasi pada kawasan hutan dan berada pada daerah moratorium izin atau Peta Indikatif Penundaan Izin Baru (PIPIB) lebih dari 30 persen atau sekitar 145.644 hektar, karenanya proyek ini mempunyai resiko lingkungan hidup utamanya meningkatkan emisi gas rumah kaca, yang secara kumulatif meningkatkan krisis ekologi. Selain itu, izin perusahaan tersebut sebagian besar berada di wilayah adat masyarakat hukum adat Yeinan seluas 316.711 hektar dan beresiko secara sosial ekonomi dan budaya”, kata Franky Samperante.

Kami meminta kepada Presiden Joko Widodo untuk konsisten menjalankan amanat konstitusi untuk mensejahterakan rakyat dan sungguh-sungguh menerapkan komitmen perbaikan tata kelola sumber daya alam yang berkeadilan dan transparan, tidak merusak lingkungan hidup dan menyebabkan perubahan iklim. Karenanya, Presiden harus menghentikan Proyek Strategis Nasional Pengembangan Pangan dan Energi di Merauke, dengan mempertimbangkan dan memperhatikan dampak sosial budaya, sosial ekonomi dan lingkungan hidup.

Kami meminta kepada korporasi, investor dan institusi keuangan untuk menghormati hak masyarakat adat untuk membuat keputusan bebas dan tanpa memaksa masyarakat menerima proposal dan usaha perusahaan memanfaatkan dan mengembangkan lahan dan hutan adat di wilayah adat.

Kami juga meminta pemerintah daerah untuk mengambil langkah efektif dan langkah hukum dalam menghormati dan melindungi keberadaan dan hak masyarakat adat, hak hidup, hak bebas berpendapat, hak atas tanah, hak atas pangan, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, hak mendapatkan informasi publik dan termasuk perizinan, serta melibatkan masyarakat adat secara bermakna dalam berbagai rencana program pembangunan.

 

Jakarta, 30 Juli 2024

 

Kontak Person :

J. Teddy Wakum : +62 822 4245 0431

Franky Samperante : +62 811 1256 019

 

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *