Anotasi :
Di dalam buku ini penulis mengangkat tragedi di Teluk Buyat. Buyat adalah bagian dari wilayah kehidupan Ratotokok sebuah persekutuan rakyat kecil di tepi selatan jazirah Sulawesi Utara yang memberikan tanda-tanda yang jelas bahwa zaman belum berubah. Kalau kolonialisme mengubah secara radikal agenda pengurusan negara, rezim kekuasaan setelah tamatnya kolonialisme mengikuti sepenuhnya pendahulunya, hanya kali ini dengan mendapatkan mandat dari rakyatnya.
Penulis juga memberikan pendapat seperti halnya pengenalan rezim produksi yang dikelola oleh negara kolonial India Belanda di abad ke 19, di mana penduduk negeri harus dipilah-pilahkan menurut fungsinya untuk proses pembuatan suatu barang, serta digolong-golongkan status kehormatannya sesuai dengan kepatutan peradaban barat yang paling mutakhir. Namun, selama lebih dari satu abad penggalian emas itu, kampung-kampung di sana tidak pernah menjelma menjadi rombongan masyarakat yang sejahtera dan selamat. Perusahaan besar dengan berkongsi atau dengan perlindungan kantor negara menduduki dan mengambil alih tambang rakyat. Pada saat yang sama, penggalian emas rakyat tanpa dukungan fasilitas keselamatan manusia dan lingkungan telah menjadi salah satu masalah serius yang belum mendapatkan sokongan jalan keluar. Pada tahun 1887, Totok Mining Company mengambil alih penggalian emas oleh rakyat sejak lama di wilayah timbunan emas Totok, yang mencakup wilayah dari Belang sampai sungai Buyat. Hampir satu abad kemudian, kembali terjadi pengerahan capital besar-besaran di pantai yang tenang itu dengan peralatan dan proses yang jauh lebih kuat.