Anotasi :
Buku ini merupakan catatan-catatan penulis selama mengadvokasi petani di Jawa Tengah. Konflik-konflik struktural berbasis perkebunan terus meningkat kuantitasnya semenjak 1998. Selama sepuluh tahun terakhir, konflik-konflik tersebut tak jelas penyelesaiannya. Di sisi lain, petani telah mereklaim (menduduki dan menggarap) tanah-tanah perkebunan yang menurut sejarahnya adalah tanah garapan mereka. LBH Semarang dan para petani yang memperjuangkan hak atas tanah memilih meniti jalur non-litigasi untuk menyelesaikan konflik-konflik struktural agraria tersebut. Menurut penulis jalur non-litigasi dianggap lebih adil bagi petani. Konflik-konflik struktural agraria yang terjadi di masa lalu khususnya setelah September 1965 tidak mungkin diselesaikan secara adil bila melalui jalur litigasi. Karena jalur litigasi membutuhkan bukt-bukti formal, dan prasyarat tersebut tidak dimiliki oleh para petani. Namun keinginan petani untuk menyelesaikan kasus tanah perkebunan di luar jalur pengadilan juga menemui banyak persoalan. Ketidakjelasan dan ketidakkonsistenan pemerintah dalam menyikapi rekomendasi pertemuan membuat situasi lapangan tidak menentu. Hampir setiap tahun, petani harus melakukan demonstrasi, mengingatkan pemerintah untuk segera menyelesaikan kasus tanah. Meski serangkaian upaya petani tersebut tidak berbuah manis, akan tetapi petani tetap melakukan lobby dan bernegoisasi dengan seluruh instansi pemerintah yang terkait dengan penyelesaian kasus tanah. Mereka juga tetap memperkuat organisasi tani dan menggarap lahan.