Pada ajang adu gagasan calon wakil presiden di awal 2024, Gibran Rakabuming Raka, Wakil Presiden-terpilih, mengatakan akan mendorong transisi menuju energi hijau dengan menggenjot hilirisasi demi mewujudkan pembangunan rendah karbon dan Net Zero Emission pada tahun 2060. Semangat itu juga tampak digaungkan oleh Presiden-terpilih, Prabowo Subianto, yang berulang kali berangan-angan melanjutkan hilirisasi mineral di Indonesia.
Masifnya hilirisasi di tengah buruknya tata kelola serta minimnya transparansi tak pelak hanya menguntungkan segelintir elite, dan malah lebih banyak mengesampingkan hak hidup masyarakat adat, membahayakan keselamatan kerja, hingga menjadi modus perampasan tanah di beberapa tempat. Nasib buruh industri nikel di Morowali, contohnya, digadaikan pada nafsu hilirisasi. Bila dibiarkan demikian, kondisi masyarakat kita hanya akan menjadi rentan dalam rezim transisi yang tidak berkeadilan, sebagaimana yang terjadi di Pulau Rempang dengan rencana proyek hilirisasi mineral berupa pasir kuarsa menjadi kaca di Pulau Rempang, Batam, dan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di sekitar Kepulauan Riau.
Di Rempang, permasalahannya lebih dari sekadar hilirisasi. Proyek Strategis Nasional (PSN) No. 7/2023 disahkan pada 28 Agustus 2023 oleh Peraturan Menko Perekonomian untuk mengakselerasi pembangunan kawasan industri yang dipromosikan “hijau” bernama Rempang Eco City. Proyek ini jelas terlihat tak peduli dampak sosial budaya yang menyertai.
Ketika proyek dilabeli PSN, proyek itu memperoleh beberapa keunggulan berupa percepatan pembangunan yang diupayakan oleh para menteri, gubernur, hingga bupati terkait regulasi, perizinan, percepatan waktu penyediaan lahan, dan jaminan keamanan politik. Namun kecepatan itu berdampak luas dan abai nilai-nilai keadilan. Perampasan tanah, bentrok antar aparat dan warga, sampai penggusuran ruang hidup kerap terjadi pada beberapa wilayah yang terdampak proyek PSN.