Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum memberi hak kepada masyarakat miskin untuk mendapatkan bantuan hukum secara gratis ketika tersangkut kasus.
Hanya saja sejak UU ini diberlakukan sejak Juli 2013, belum banyak orang miskin menggunakan haknya tersebut. Hal itu dinilai akibat kurangnya sosialisasi kepada masyarakat. Hal itu terungkap dalam diskusi bertema “Sinergisitas Pelayanan Akses Bantuan Hukum bagi Masyarakat Miskin” di Adinegoro Room, Graha Pena Padang, kemarin (14/2).
Dalam diskusi itu, hadir perwakilan dari LBH Padang, Polda Sumbar, Kanwil Kemenkumham Sumbar, dan Pengadilan Tinggi Padang.
Yuhendri dari Kanwil Kemenkumham Sumbar mengakui sejak diterapkan tahun 2013 lalu, pelaksanaan UU ini belum maksimal. Buktinya masih banyak masyarakat miskin yang belum mendapatkan haknya menerima bantuan hukum. Penyebab utama, UU itu belum tersosialisasi dengan baik di tengah masyarakat.
Sebagai bukti, tahun 2013 katanya, pemerintah pusat menyediakan anggaran untuk bantuan hukum dari APBN sebesar Rp 40,8 miliar. “Tapi hanya 11 persen yang bisa terserap,” ujarnya.
Kasubid Penyuluhan Bankum ini menyebutkan, di Sumbar ada lima organisasi bantuan hukum (OBH) yang telah ditetapkan sebagai pemberi bantuan hukum. Di antaranya LBH Padang, Perhimpunan bantuan hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Sumbar, Pusat Advokasi HAM (Paham) Sumbar, Posbakumadin di Kabupaten Solok, dan Siat Justisia Sumbar. “Kelima OBH ini telah lulus akreditasi dan verifikasi sebagai pemberi bantuan hukum,” ucapnya.
Diakuinya pula, keberadaan OBH ini belum tersosialisasikan dengan baik kepada masyarakat. Selama ini belum banyak masyarakat yang tahu jika di Sumbar telah ada lima lembaga bantuan hukum yang ditetapkan Kemenkumham itu. “Kekurangan-kekurangan yang masih ada ini, menjadi catatan kami untuk perbaikan di masa mendatang,” ujarnya.
Rina Noverya dari LBH Padang mengungkapkan, sejak berlakunya UU tersebut hingga kemarin, pihaknya baru mendampingi 5 kasus. Ini tergolong masih sedikit. “LBH tidak saja membantu soal litigasi, tapi juga non-litigasi berupa penyuluhan hukum,” katanya.
M Nurul Fajri, juga dari LBH Padang menegaskan, UU ini punya semangat bagus. Setiap orang miskin diberi bantuan hukum oleh negara. Hanya saja katanya, orang miskin belum banyak yang tahu dengan haknya tersebut. “Ke depan kami harapkan kita bisa bersinergi menyosialisasikan ini,” ucapnya.
Junaidi dari Polda Sumbar setuju dan mendukung keberadaan UU tersebut. Dengan adanya bantuan hukum ini, sangat memudahkan kerja Ditreskrimum Polda Sumbar. “Bantuan hukum ini akan sangat membantu masyarakat miskin. Karena kita tahu pelaku kejahatan itu tidak saja orang mampu, tapi lebih banyak orang miskin,” terangnya.
Dia mengaku baru tahu jika ada lima OBH di Sumbar yang telah ditetapkan sebagai pemberi bantuan hukum. “Selama ini yang saya tahu itu hanya LBH. Sekarang saya baru tahu kalau ada lima OBH yang diberi amanat sebagai pemberi bantuan hukum. Mudah-mudahan informasi ini dapat juga tersosialiasi di lingkungan kami,” ujarnya.
Selama ini katanya, Polda Sumbar sudah melaksanakan bantuan hukum dengan baik. “Biasanya sebelum diperiksa kami tetap berikan hak tersangka dengan menanyakan apakah dia mau pakai pengacara atau tidak. Proses ini sudah kami lakukan selama ini,” terangnya.
Ali Dalimunthe, hakim tinggi Pengadilan Tinggi Padang menegaskan, bahwa pengadilan telah melaksanakan bantuan hukum ini sejak tahun 1980, terutama untuk warga miskin. Hanya saja, ada sedikit kendala ketika terdakwanya bukan orang Sumbar.
Dia mempertanyakan bagaimana caranya membuktikan dia orang miskin atau tidak. “Kalau tersangkanya orang Sumbar tidak masalah, bisa dibuktikan. Tapi kalau tersangkanya dari luar Sumbar bagaimana membuktikan dia orang miskin atau tidak,” tuturnya. Disebutkannya, dulu dana bantuan hukum yang dianggarkan untuk satu perkara sebesar Rp 750 ribu.
Deddi Alparesi dari LBH Padang menegaskan, masyarakat yang berhak mendapatkan bantuan hukum adalah tersangka yang ancaman hukumannya di atas lima tahun.
Status miskinnya dapat dibuktikan dengan surat keterangan miskin dari kelurahan, Jamkesmas, Jamkesda, BLSM, atau surat raksin. “Sepanjang dia miskin dan dapat dibuktikan, dia berhak mendapatkan bantuan hukum. Syarat lainnya, ancaman hukumannya di atas lima tahun,” tuturnya.
Tapi Deddi menegaskan, LBH mengecualikan beberapa kasus. LBH tidak akan memberikan bantuan hukum jika menyangkut kasus korupsi, illegal logging dan illegal mining, terorisme, dan narkoba. “Kami berhak menolak jika kasusnya itu,” terangnya.
Dia menyebutkan, untuk bantuan hukum ini negara menganggarkan sebesar Rp 5 juta hingga kasus tersebut inkracht. “Kalau dulu hanya Rp 750 ribu per kasus,” ucapnya.
Berdasarkan penelitian LBH kata Deddi, justru sebelum UU ini lahir dana bantuan hukum itu tidak digunakan tepat sasaran. “Salah satu contoh, di kepolisian misalnya, dana bantuan hukum itu digunakan untuk membiayai bantuan hukum bagi anggota polisi yang terjerat hukum,” tukasnya.
Karena itu menurutnya perlu sinergitas antara semua pihak, terutama instansi penegak hukum. Agar UU ini dapat dilaksanakan dengan baik dan dana bantuan hukum yang telah diberikan negara bisa dimaksimalkan untuk membantu masyarakat miskin yang terjerat hukum.
Diakuinya, keberadaan lima OBH ini belum mampu mengakomodir besarnya kebutuhan bantuan hukum di seluruh Sumbar. Dia berharap ke depan lahir OBH baru minimal di 19 kabupaten/kota di Sumbar.
sumber : padangekspres.com