SITUASI hari ini dirasakan semakin menjauh dari apa yang dulu diperjuangkan sekitar 20 tahun lalu, saat gerakan rakyat terdiri dari mahasiswa, buruh, tani, kaum miskin kota, menuntut pemerintah untuk menjalankan agenda reformasi untuk menyelamatkan negara dari tindakan korupsi, anti-demokrasi, dan militerisme yang dipraktikkan oleh rezim Orde Baru di bawah presiden Soeharto. Hari ini, tindakan pemberantasan korupsi digembosi, militerisme hadir kembali dalam bentuk bela negara, dan anti-demokrasi dikekalkan dengan impunitas terhadap para pelaku kekerasan, baik para pelaku kekerasan di masa lalu maupun hari ini. Situasi ini dibiarkan terus terjadi sehingga semakin jauh dari amanat reformasi. Oleh karena itu, cita-cita reformasi perlu segera diselamatkan.
Pada 16 September 2017, polisi melakukan blokade dan menyerbu gedung YLBHI hanya karena ada kegiatan Seminar Sejarah 65 dengan tema “PENGUNGKAPAN KEBENARAN SEJARAH 1965/66” yang direncanakan diadakan pada Sabtu-Minggu, 16-17 September 2017 di gedung YLBHI Jl. Diponegoro No. 74, Jakarta. Kepolisian yang seharusnya bertugas melindungi hak warga negara untuk berkumpul dan menyuarakan pendapat ternyata malah melanggar hak yang dilindungi oleh konstitusi dan secara arogan merenggut kehormatan gedung YLBHI sebagai rumah rakyat yang selama ini digunakan oleh masyarakat untuk memperjuangkan haknya yang dirampas. Tindakan blokade dan penyerbuan polisi ini menunjukkan ketidakprofesionalan polisi dan perlu dikecam keras.
Tindakan blokade dan penyerbuan itu dilakukan di zaman pemerintahan Joko Widodo yang demokratis menjadi sorotan untuk segera melakukan reformasi di tubuh kepolisian. Kepolisian merupakan salah satu institusi yang hingga hari ini belum disentuh agenda reformasi, sehingga acap kali melemahkan agenda reformasi seperti anti-korupsi, perlindungan pemenuhan pendapat dalam demokrasi, dan lain-lain.
KA KBUI juga mempertanyakan keseriusan pemerintah Joko Widodo untuk menyelesaikan agenda-agenda reformasi yang belum selesai: penghapusan Korupsi, Kolusi, Nepotisme/KKN, reformasi di tubuh TNI/Polri, perbaikan sistem hukum, dan lain-lain. Atau dalam bahasa yang kerap dipakai, apakah pemerintahan Joko Widodo serius dengan 9 tujuan yang tertuang dalam Nawacita? Pemerintah Joko Widodo harus tetap menjunjung tinggi demokrasi karena di atas landasan demokrasi itulah arah reformasi bisa berjalan lurus.
Atas sejumlah perkara tersebut, KA KBUI sebagai bagian dari gerakan rakyat pada tahun 1998 dan berkomitmen untuk menyelamatkan agenda reformasi mendesak agar:
1. Presiden Jokowi tidak keluar jalur dari agenda reformasi, khususnya mereformasi tubuh TNI/Polri agar alat-alat negara ini tidak dipergunakan untuk melawan masyarakat sendiri, tetapi melindungi sepenuh hati. Presiden juga harus ingat Nawacita yang dibuatnya sendiri untuk menjamin penyelesaian masalah kemanusiaan di masa lalu dengan cara damai dan bermartabat.
2. Menkopolhukam Wiranto untuk meninggalkan cara pengelolaan politik dan keamanan yang represif karena ini bukan situasi perang, melainkan ini situasi damai.
3. Kapolri Jenderal Tito Karnavian untuk mengevaluasi kinerja kepolisian yang bobrok dan mencopot segera Kapolsek Menteng yang arogan dan mengabaikan hak warganegara yang dilindungi oleh konstitusi negara ini.
4. Pemerintah untuk melindungi kegiatan diskusi/seminar/kebudayaan sebagai ruang dialog warga dari tindakan represi berupa ancaman hingga pembubaran, baik dari kelompok masyarakat intoleran maupun aparat keamanan.
5. Menyerukan kepada civitas akademika Universitas Indonesia dan masyarakat luas untuk mengingatkan pemerintah dan alat-alat negara untuk kembali pada cita-cita reformasi dan ikut menjaga demokrasi agar tidak semakin memburuk.
Jakarta, 17 September 2017
Kesatuan Aksi Keluarga Besar Universitas Indonesia/KA KBUI
Untuk informasi:
Ikravany Hilman +62 878-8895-1131
Damar Juniarto +62 899-0066-000
Veronica Iswina +62 812-8100-0929