Pelarangan acara diskusi yang bermaksud untuk membahas peristiwa 1965 di YLBHI pada hari Sabtu, 16 September 2017 memberi sinyal kuat bahwa aparat penegak hukum dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo menggunakan pendekatan represif dalam mengendalikan situasi. Penyelenggaraan diskusi yang menghadirkan akademisi serta narasumber penyintas ternyata oleh aparat penegak hukum dianggap membahayakan sehingga perlu dilarang. Ada yang keliru dalam penyelenggaraan negara ketika sebuah diskusi dengan tema yang berupaya membahas peristiwa pelanggaran HAM masa lalu kemudian dilarang secara represif oleh aparat.
Jaminan hukum dalam kebebasan berpendapat, berserikat dan berkumpul di negara kita dijamin dalam pasal 28 UUD 1945. Alih-alih memberi ruang dan memberi kesempatan pada inisiatif masyarakat untuk menyelenggarakan pembicaraan yang bermakna mengenai salah satu episode gelap dalam sejarah bangsa, aparat penegak hukum memilih untuk membungkam kegiatan ini yang seharusnya dijamin konstitusi.
PSHK sebagai bagian dari elemen masyarakat sipil mengecam keras tindakan aparat penegak hukum yang dengan sewenang-wenang menutup diskusi di YLBHI. Fakta bahwa diskusi ini akan berlangsung di tempat yang dimaknai sejarah sebagai “lokomotif demokrasi Indonesia” kemudian berusaha dibungkam oleh aparat di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo memberi pesan nyata bagi publik. Bahwa ada kegagapan sistemik dari pemerintahan Joko Widodo untuk membuka dan meningkatkan kualitas ruang publik untuk pembicaraan mengenai upaya penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu. Penggunaan pasal-pasal hukum seyogynya tidak dimaknai oleh aparat untuk menekan keinginan sebagian elemen masyarakat untuk membicarakan tema tema penting bagi kemajuan bangsa ini. Presiden Joko Widodo patut diingatkan kembali akan Peraturan Presiden No. 75 Tahun 2015 Tentang Rencana Aksi Nasional Tahun 2015-2019. Perlu diperiksa kembali juga kemajuan agenda dari Perpres tersebut memerintahkan pembentukan Sekretariat Bersama RANHAM yang terdiri atas unsur Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Sosial, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
Pemerintahan Joko Widodo harus membuktikan pada publik bahwa pendekatan keamanan bukanlah solusi untuk menuju Indonesia yang lebih demokratis. Presiden Joko Widodo juga harus meyakinkan publik bahwa dalam masa pemerintahannya, ruang publik wajib dibuka untuk memeriksa kembali sejarah dan praktek demokrasi kita. Sudah cukup sejarah mencatat kegagapan pemerintahan dalam menyikapi inisiatif perubahan justru akan berbalik menjadi bumerang bagi rezim itu sendiri.
CP: Rizky Argama (0812-1983193)
Jakarta, 17 September 2017