Berdasarkan data Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Koalisi Masyarakat Sipil Anti-Kriminalisasi (Taktis) setidaknya ada 49 orang yang mengalami kriminalisasi, yaitu diperiksa, ditangkap, ditahan, dan ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri, selama tahun 2015.
Sebagai contoh, kasus hukum yang menjerat Ketua dan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) non-aktif, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto.
Koordinator bantuan hukum YLBHI, Julius Ibrani mengatakan, Jaksa Agung (Jakgung) HM Prasetyo bertanggung jawab atas kriminalisasi terhadap puluhan orang tersebut.
Mengingat, lanjut Julius, Jaksa Agung seharusnya memiliki peran signifikan untuk mengendalikan perkara sejak awal pemeriksaan oleh kepolisian.
“Kewenangan penuntutan dikaitkan dengan peran kejaksaan dalam sistem peradilan pidana terpadu harus didefisinikan sebagai dominius litis, yaitu pengedalian proses perkara dari tahapan awal penyidikan sampai dengan pelaksanaan proses eksekusi suatu putusan,” ujar Julius saat jumpa pers di Kantor Indonesia Corruption Watch (ICW), Jakarta, Minggu (25/10).
Menurut Julius, seharusnya Kejaksaan Agung (Kejagung) juga memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan horizontal terhadap penyidikan yang bertujuan tidak terjadi penyalahgunaan wewenang oleh aparat penegak hukum.
Ditambah lagi, ungkapnya, sesuai Pasal 11 Guidelines on the role of Prosecutors yang diadopsi oleh Eight United Nation Congress on the Prevention of Crime dalam Kongres Pencegahan Kejahatan kedelapan di Havana tahun 1990 dan Indonesia turut ambil bagian, jaksa disebut seharusnya berperan aktif dalam penyidikan, pengawasan terhadap keabsahan penyidikan tersebut, mengawasi pelaksanaan putusan pengadilan.
Kemudian, tambahnya, jelas dalam Pasal 30 Ayat (1) huruf e UU No.16/2004 tentang Kejaksaan dikatakan, setelah berkas dianggap lengkap oleh kepolisian maka penuntut umum mempunyai wewenang untuk melakukan pemeriksaan tambahan atas hasil penyidikan.
“Dalam Pasal 10 Ayat (1) dan (2) Peraturan Jaksa Agung Nomor Per-36/A/JA/09/2011 tentang Standar Operasional Prosedur Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum, jelas menyatakan jaksa lidik (penuntut umum) harus sedini mungkin melakukan koordinasi dengan penyidik dalam bentuk konsultasi, memberikan petunjuk atau arahan,” ungkap Julius.
Tetapi, dalam perkara 49 orang ini, Julius mengatakan, tidak ada upaya mengkoreksi perkaranya sebagaimana kewenangan yang dimilikinya.
Sebagai contoh, kasus Bambang Widjojanto yang sejak 19 September 2015 telah dilimpahkan ketahap dua ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Pusat dan kasus Abraham Samad sejak 22 September 2015 diserahkan ke Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan. Tetapi, tidak juga diproses oleh kejaksaan. Padahal, menurut informasi berkasnya sudah selesai sejak bulan Mei 2015.
Oleh karena itu, dengan tegas Julius mengatakan bahwa Jaksa Agung melanggengkan upaya kriminalisasi hukum di Tanah Air. Sehingga, sudah selayaknya Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengganti yang bersangkutan.
Sumber : beritasatu.com