Wakil Direktur LBH Jakarta Restaria Hutabarat mengatakan, konflik di lapas dan rutan merupakan aakibat dari buruknya sistem peradilan pidana di Indonesia.
“Masyarakat dan penegak hukum sebenarnya sudah cukup lama menyadari bahwa pidana penjara bukan satu-satunya solusi mengurangi tingkat kejahatan,” ujar Restaria dalam keterangan persnya di YLBHI, Jalan Diponogoro, Jakarta, Selasa (20/8).
Sejumlah solusi telah ditawarkan, termasuk pendekatan restorative justice dalam RUU KUHAP, yang menawarkan penyelesaian di luar pengadilan untuk perkara tertentu.
“Dengan ketentuan ini, pelaku tindak pidana tidak harus dipenjara tapi diwajibkan membayar kerugian terhadap korban. Hal ini dimungkinkan untuk tindak pidana tertentu,” ujar Restaria.
Dia berpendapat, fungsi Hakim Pengawas yang ada di KUHAP saat ini pun seharusnya dapat menjadi alat untuk mengawasi berjalannya eksekusi. Namun, fungsinya tidak berjalan dengan semestinya karena menumpuknya kasus yang ditangani pengadilan.
Terkait hal ini, pengacara publik LBH Jakarta Enny Rofiatul mengatakan, “Selain dari bentuk dari tindak pidana, berdasarkan laporan kasus pidana yang ditangani oleh LBH Jakarta menunjukkan bahwa narapidana dan tahanan yang menghuni sebagian besar merupakan masyarakat ekonomi lemah. Misalnya dalam kasus anak, kebanyakan anak di lapas adalah anak dari orang tua miskin.”
Enny menambahkan, solusi yang ditawarkan oleh kementerian Hukum dan HAM adalah menggagas adanya satuan tugas keamanan dan ketertiban untuk mengatasi ketertiban di lapas. Padahal, sambung dia, permasalahan sebenarnya tidak sederhana itu.
Sumber : jaringnews.com