Tuntutan terhadap para terdakwa kasus pembuangan pasien Rumah Sakit Umum Daerah dr. A. Dadi Tjokrodipo (RSUDDT) yang diberikan jaksa penuntut umum (JPU) langsung menuai respons. Ketua Advokasi LBH Bandarlampung Anggit Arietya Nugroho menilai, tuntutan itu terlalu rendah.
Apalagi tuntutan terhadap Mahendri dan Heriansyah yang diduga sebagai kreator pembuangan hanya terpaut 4 bulan penjara dengan keenam eksekutor pelaku pembuangan pasien RSUDDT.
Diketahui, sebelumnya Heriansyah dan Mahendri dituntut 1 tahun 10 bulan penjara. Sedangkan enam terdakwa lainnya dituntut selama 1 tahun 6 bulan. Padahal pada dakwaan, mereka dikenai pasal 306 ayat 2 KUHP jo pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP dengan ancaman hukuman 9 tahun penjara.
’’Seharusnya jaksa berani menuntut dengan ancaman pidana yang jauh lebih berat. Sangat ringan sekali,” sesal Anggit kemarin (24/6).
Apalagi, lanjutnya, alat bukti kasus pembuangan pasien RSUDDT ini cukup kuat. Kecuali faktanya masih sumir, masih belum jelas siapa yang melakukannya atau para terdakwa tidak mengakui perbuatannya.
’’Lha, dalam perkara ini kan terdakwa mengakui perbuatannya. Jadi jelas dan nyata dari sisi pembuktian sangat kuat. Tapi, mengapa justru jaksa tidak berani menuntut lebih lama lagi?” sesalnya seraya berharap majelis hakim kelak memiliki penilaian sendiri yang berbeda dengan jaksa mengenai besar hukuman.
Menurut dia, tidak selayaknya pegawai yang menyandang profesi menolong orang sakit seperti itu mendapat hukuman ringan. ’’Kalau hukumannya ringan, maka ini akan menjadi preseden buruk dalam hal pelayanan kesehatan bagi orang miskin. Kalau dituntut cuma 1 tahun 10 bulan, paling putus oleh hakim hanya 2/3 dari tuntutan jaksa sekitar 14 bulan. Belum nanti dipotong pembebasan bersyarat, jadi hanya menjalani 2/3 dari 14 bulan yakni 9 bulan. Sangat ringan sekali. Dari ancaman 9 tahun, faktanya hanya akan menjadi 9 bulan,” ucapnya.
Terpisah, kuasa hukum dari keenam terdakwa eksekutor pembuangan pasien RSUDDT, Sukriyadi Siregar, malah menilai tuntutan yang diberikan JPU terhadap kliennya salah dalam menerapkan pasal.
’’Kita ketahui bahwa pasien bernama Suparman alias Mbah Edi saat ditemukan di gubuk masih hidup. Ketika sampai di RSUDAM, barulah dia meninggal dunia. Seharusnya klien kami dikenakan pasal 304 KUHP membiarkan orang yang membutuhkan pertolongan, bukan pasal 306 KUHP yang menelantarkan hingga meninggal dunia,” ujarnya.
Sukri juga menyesalkan JPU yang dinilainya menerapkan tuntutan secara merata. Karena sesuai pasal 51 KUHP yang menyatakan karena perintah atasan melakukan perbuatan itu. ’’Nah, keenam pelaku itu kan pekerjaannya beda-beda. Ada sopir ambulans, perawat, office boy, hingga juru parkir. Masak semuanya dinyatakan salah? Seharusnya JPU memperhatikan itu,” sesalnya.
Sukri menambahkan, seharusnya JPU dalam membacakan tuntutan harus berani membebaskan salah satu terdakwa. ’’JPU seharusnya menuntut bebas terdakwa yang pekerjaannya hanya sebagai juru parkir. Dia tidak tahu-menahu dalam kejadian ini. Bukan malah dikenakan tuntutan 1 tahun 6 bulan,” katanya.
Sementara itu, Rojali Umar selaku kuasa hukum Heriansyah belum berhasil dikonfirmasi. Saat dihubungi, ponselnya dalam kondisi tidak aktif.
Diketahui, sidang kasus pembuangan pasien RSUDDT, Suparman alias Mbah Edi (63), kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Kelas 1A Tanjungkarang, Senin (23/6).
Proses sidang dilakukan secara terpisah. Yang pertama dilakukan terhadap enam eksekutor pembuangan Mbah Edi. Keenamnya masing-masing Muhaimin (33), Rika Ariadi (31), Andika (25), Andi Febrianto (23), Adi Subowo (21), dan Rudi Hendra Hasan (38). Mereka dituntut 1 tahun 6 bulan kurungan.
Sedangkan kreator pembuangan, masing-masing Heriansyah yang sebelumnya menjabat sebagai Kasubbag Umum dan Kepegawaian RSUDDT Bandarlampung serta Mahendri selaku mantan kepala ruang rawat inap E2 dituntut 1 tahun 10 bulan penjara.
Sumber : radarlampung.com