LBH Medan menilai kerusuhan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Klas I Tanjung Gusta, Medan, Sumatera Utara, adalah bukti kuat akan lemahnya pengawasan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia terhadap Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia khususnya di Sumatera Utara.
“Sebab jauh hari sebelumnya sudah diperkirakan akan terjadi peristiwa tersebut namun pihak Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Klas I Tanjung Gusta tidak melakukan pencegahan ataupun langkah-langkah yang dapat menghindari kerusuhan tersebut, sehingga telah merugikan negara akibat pembakaran bahkan korban jiwa,” kata Direktur LBH Medan Surya Adinata, dalam siaran pers, Minggu 14 Juli 2013.
Menurutnya, hak narapidana dalam menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan dalam beberapa hal sering tidak mendapat perhatian, khususnya terhadap perlindungan HAM. Menjalani pidana bukan berarti hak-haknya dicabut dan penghukuman bukan bertujuan mencabut hak-hak asasi yang melekat pada dirinya.
“Sistem pemasyarakatan secara tegas menyatakan narapidana mempunyai hak-hak yang dilindungi dan diakui oleh penegak hukum khususnya para staf di Lembaga Pemasyarakatan. Disamping itu juga ada ketidakadilan perilaku bagi narapidana seperti misalnya tidak mendapat fasilitas yang wajar, padahal hak-hak narapidana telah diatur dalam Pasal 14 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995,” ujarnya.
Dia mengakui memang saat ini kondisi lapas sangat jauh dari yang diharapkan, khususnya kapasitas di dalam lapas yang telah melewati batas, yang mana saat ini penghuni lapas sekitar 2.600 orang dan telah melebihi kapasitas sekitar 247 persen. Harusnya kapasitas Lapas adalah hanya 1.500 orang, lagi-lagi ini merupakan merupakan potret buram Lembaga Pemasyarakatan kita.
Menurut LBH Medan, Lembaga Pemasyarakatan menjadi over capacity dikarenakan banyak kasus-kasus kecil yang harusnya tidak dilakukan penahanan namun ditahan, bukan hanya itu saja melainkan masih banyaknya juga kasus kriminalisasi oleh aparat penegak hukum, ini semua terjadi secara terstruktur.
“Sebenarnya kerusuhan tersebut berawal dari padamnya listrik sejak pagi subuh Kamis hingga sore hari menjelang berbuka puasa dan tidak adanya supply air ke dalam lapas. Inilah salah satu pemicu kerusuhan itu,” tutur Surya.
Di bulan Puasa dan bulan suci bagi saudara kita umat Islam ini, harusnya pihak lapas menyediakan semua yang dibutuhkan narapidana dan para tahanan berupa air dan listrik agar tetap nyala, sehingga dalam hal ini ada pelanggaran hak yang dilakukan pihak lapas terhadap para penghuni lapas, bagaimana mereka bisa beribadah atau sholat sementara air dan listrik tidak tersedia. Jelas-jelas pihak lapas tidak melakukan persiapan matang untuk menyambut bulan puasa ini.
Kemudian pemadaman listrik sewenang-wenang yang dilakukan PLN di sekitar lapas merupakan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) yang telah merugikan warga masyarakat dan juga telah menjadi pemicu utama kerusuhan, PLN juga harus bertanggung jawab atas kesalahan ini, harusnya PLN tidak boleh melakukan pemadaman listrik di bulan suci Ramadhan ini.
“Apapun jawaban yang telah disampaikan PLN bukanlah menjadi alasan pembenaran terhadap tindakan mereka melakukan pemadaman. Sebagai bentuk tanggungjawab mereka lebih baik kepala PLN Wilayah Sumatera Utara dan Kota Medan mengundurkan diri dan meminta maaf atas pemadaman itu,” paparnya.
LBH Medan dengan ini meminta kepada Presiden RI cq. Menteri Hukum dan HAM RI untuk melakukan langkah-langkah konkrit dengan mencopot Kalapas Tanjung Gusta dan melakukan pembenahan dalam Lapas itu sendiri, dan Direktur Utama PT. PLN Persero untuk mencopot Kepala PLN Wilayah Sumatera Utara dan Kota Medan akibat pemadaman yang berujung pada kerusuhan.
Sumber : mahardikanews.com