Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung menyesalkan kurang maksimalnya pihak kepolisian dalam menjamin keamanan warga Ahmadiyah saat ada kegiatan, seperti yang terjadi di Kabupaten Tasikmalaya, Minggu (5/5). Padahal kegiatan tersebut sudah dikomunikasikan dari awal oleh pengurus jemaah Ahmadiyah setempat. Hal itu disampaikan Ketua LBH Bandung, Arip Yogiawan saat jumpa pers di kantor LBH Bandung, Jln. Ir. H. Djuanda, Senin (6/5).
“Berdasarkan pengakuan sejumlah saksi, aksi anarkis di Tasikmalaya sudah dideteksi sejak awal oleh kepolisian. Bahkan, kata seorang jemaah Ahmadiyah, anggota dari Polsek Salawu sudah memberi tahu akan ada pergerakan massa ke lokasi,” ungkapnya.
Menurut Arip, informasi polisi itu menyebutkan, massa akan bergerak ke lokasi Sabtu (4/5) sekitar pukul 09.00 – 11.00 WIB. Polisi pun telah menyiagakan pasukan pengendalian massa (dalmas).
“Tapi Sabtu sore, pasukan dalmas ini ditarik. Padahal polisi sudah tahu jemaah Ahmadiyah akan melakukan kegiatan pengajian atau majelis taklim sampai Minggu siang. Akibatnya, terjadilah penyerangan itu,” ujarnya.
Peristiwa penyerangan itu, kata Arip, menambah rentetan panjang tindakan intoleransi di Jawa Barat. Bahkan sepertinya kekerasan demi kekerasan yang berbasiskan keyakinan di Jawa Barat, selalu lepas dari pantauan aparat penegak hukum. “Padahal sebelumnya pihak kepolisian sendiri sudah mengetahui akan ada pergerakan massa intoleran,” katanya.
Arip menuntut Kapolri melakukan evaluasi internal di tubuh kepolisian serta mengusut tuntas kasus tersebut. Dia juga meminta Pemprov Jabar bekerja sama dengan aparat keamanan untuk memberi jaminan/perlindungan kepada kelompok minoritas.
Peristiwa penyerangan terhadap jemaah Ahmadiyah terjadi pada Minggu (5/5) dini hari di Kampung Sindang, Desa Cipakat, Kec. Singaparna dan Kampung Wanisagara, Desa Tejowaringin, Kec. Salawu, Kab. Tasikmalaya. Massa yang berjumlah sekitar 150 orang menyerang dan merusak 3 mobil, 1 motor, 29 rumah, Madrasah Diniyah Imamudin, SDN 1 Tenjowaringin, Masjid Baitussubhan, dan Musala Nurul Khilafat.
Menahan diri
Di tempat terpisah, Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan mengimbau masyarakat agar menahan diri dan mengedepankan dialog untuk menyelesaikan masalah. Masyarakat diminta tidak anarkis. Jika ada yang menyimpang atau masalah sosial di masyarakat, laporkan kepada pihak berwenang.
Pernyataan Heryawan tersebut terkait perusakan masjid Ahmadiyah di Kampung Babakan Sindang, Desa Cipakat, Kecamatan Singaparna, Kabupaten Tasikmalaya, Minggu (5/5).
“Masyarakat hendaknya bisa menahan diri dan mengutamakan dialog. Jangan melakukan tindakan kekerasan, karena itu tindakan kriminal. Mengajak kepada kebenaran harusnya dilakukan dengan cara yang baik,” kata Heryawan kepada wartawan usai menghadiri rapat revitalisasi keraton di Cirebon, Senin (6/5).
Menurutnya, dengan cara apa pun dan dilakukan kepada siapa pun kekerasan tidak dibenarkan. Pelakunya akan berhadapan dengan hukum.
Untuk perusakan masjid Ahmadiyah di Tasikmalaya, Polres Tasikmalaya sudah melimpahkan kasusnya ke Polda Jabar. Hingga saat ini aparat masih berjaga-jaga di lokasi.
Menurutnya, masalah Ahmadiyah sudah diatur dalam SKB Tiga Mentri. Intinya Ahmadiyah dilarang menyebarkan ajaran agamanya. SKB jelas melarang penyebaran agama yang keluar dari ajaran Islam.
Tidak hanya itu, Ahmadiyah pun sudah menyepakati 12 poin SKB. Dua di antaranya, tidak ada perbedaan panutan (Nabi) dengan ajaran Islam pada umumnya. Selain itu mereka pun tidak memiliki tempat ibadah khusus.
Artinya jika yang terjadi sebaliknya, mereka sudah melanggar dan harus ada tindakan. Kendati begitu, penyelesaian dengan kekerasan tidak dibenarkan. Kalau itu terjadi, artinya ada tindak penodaan agama. Kalau ada bukti bisa dilaporkan.
“Dengan begitu, jemaah Ahmadiyah harus menaati kesepakatan tersebut. Begitu juga masyarakat yang bukan Ahmadiyah, jangan bertindak sewenang-wenang. Jika ada bukti melanggar atau menyimpang, laporkan saja kepada pihak berwenang,” tegasnya.
Sumber : klik-galamedia.com