Siaran Pers LBH Padang
Nomor : 28/S.Pers/LBH-PDG/XI/2017
Dua orang anggota kesatuan masyarakat hukum adat nagari koto Malintang Kecamatan Tanjung Raya Kabupaten Agam, Agusri Masnefi dan Erdi Datuak Samiak mendekam ditahanan Polres Agam sejak 27 September 2017.
Keduanya disangka oleh tim gabungan Polres Agam dan Polisi Kehutanan dengan tindak pidana penebangan kayu secara tidak sah yang menurut negara berada pada kawasan hutan konservasi cagar alam. Merrka terancam hukuman penjara paling lama 5 tahun dan denda sedikitnya lima ratus juta rupiah.
Masyarakat sendiri hanya mengetahui bahwa tanah tersebut adalah parak, ulayat suku yaitu suku tanjung. Titik penebangan berada pada hamparan datar dekat sawah-sawah dan peladangan masyarakat yang selama ini telah mereka kelola secara turun temurun.
Agusri masnefi adalah ayah dari 5 (lima) orang anak. Bersama anak-anak dan istri, mertua, dua orang menantu dan 4 orang cucu yang masih balita tinggal dalam sebuah rumah sederhana, masih berlantai tanah dan sebagiannya berdindingkan terpal. Total ada 14 orang yang menempati rumah itu.
Untuk menghidupi keluarga, Agusri Masnepi menjual sate dengan berkeliling danau Maninjau. Tersedu-sedu Aslinda, Istri Masnefi dalam konferensi pers di LBH Padang hari ini mengatakan “Dulu kami menjual rakik rinuak dan palai rinuak, namun setelah Rinuak tak bisa lagi diperoleh dari danau Manjinjau, suami saya terpaksa harus mencari sumber penghasilan lain dengan berjualan sate berkeliling di danau Maninjau, saya sudah bilang kepada Polisi saya saja yang ditahan, tolong keluarkan suami saya agar dia bisa membiayani anak-anaknya.”
Karena umur terus berlanjut dan mimpi untuk memperbaiki ekonomi, Agusri Masnepi dan keluarga berniat membangun kedai di pinggir Danau Maninjau. Dengan begitu ia tidak perlu berkeliling dan menantunya bisa pula membuka usaha kecil-kecilan di kedai itu. Ia menjual dan menggadaikan sepeda motornya untuk menyewa tanah kedai, membeli bahan dan modal kedai. Namun uang hasil penjualan motor tidak mencukupi untuk membeli seluruh papan dan kayu yang dibutuhkan. Keluarga Masnefi kemudian meminta izin kepada Ninik Mamak untuk diizinkan menebang kayu di Ulayat Suku.
Asrul Dt. Majo Sati, Ninik Mamak suku Tanjuang dalam konferensi pers di LBH Padang mengatakan “Ini adalah tanah ulayat kami, istri Agusri Masnepi adalah kemenakan saya, dan dia datang meminta izin untuk menebang kayu, saya mengizinkan asal prosesur adat dijalankan. Ini adalah kewajiban mamak kepada kemenakan, apalagi saya tau betul kondisi ekonominya sangat sulit.”
Masyarakat nagari Koto Malintang telah memiliki kearifan lokal sendiri dalam memastikan kelestarian sumber daya alam. Misalnya dengan membatasi jumlah pohon yang boleh ditebang, kayu yang boleh ditebang pun juga adalah jenis kayu tertentu, misalnya kayu bayur, sejenis kayu tebangan yang kalau ditebang tidak langsung mati tapi akan tumbuh kembali.
Masyarakat sendiri sadar sebagai bagian dari warga negara republik Indonesia mereka harus menghormati hukum, karna itu pula sekalipun menebang kayu di parak atau di ulayat-ulayat suku, masyarakat tetap berkoordinasi dengan jorong dan wali nagari sebagai representasi pemerintah RI. Dalam kasus ini sudah ada rekomendasi dari jorong dan wali nagari. Ini sudah kebiasaan yang berlangsung lama di masyarakat adat nagari koto malintang.
Berbekal surat izin ini Agusri Masnepi meminta tolong kepada bantuan Erdi Dt. Samiak untuk menebang dua pohon kayu bayur. Namun kemudian Erdi Dt. Samiak yang sedang menebang kayu ditangkap oleh Tim Gabungan Polisi Kehutanan dan Polres Agam. Dengan santai dia memperlihatkan surat yang dimiliki namun tidak dihiraukan oleh penegak hukum.Ia langsung dibawa ke Kepolisian Resor Agam pada 27 September Tahun 2017.
Agusri Masnepi yang merasa bertanggungjawab mencoba mendatangi Polres Agam untuk meminta penjelasan, namun sejak itu ia tidak lagi pulang kerumah, ia langsung ditahan hingga sekarang karena dianggap melanggar Pasal 82 ayat (1) Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan.
LBH melihat lemahnya pemahaman dan perspektif penegak hukum terhadap masyarakat hukum adat. Hukum HAM internasional maupun konstitusi jelas dan tegas mengakui keberadaan masyarakat hukum adat. Penangkapan masyarakat adat di tanah ulayatnya sendiri dalam kasus Masnepi jelas merupakan pelanggaran konstitusi terkait hak-hak masyarakat adat. Justru klaim negara yang harus dikoreksi, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45 Tahun 2011 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 tahun 2012 secara tegas telah mengatakan hutan adat adalah hutan hak, dan kawasan hutan tidak cukup hanya ditunjuk tetapi harus dilakukan proses penataan batas, pemetaan dan penetapan kawasan hutan. Sejauh ini belum ada penataan batas dan penetapan kawasan yang prosesnya dilakukan secara partisipatif, apalagi masyarakat adat sudah nagari Koto Malintang sudah memiliki kearifan lokal dalam memastikan keberlanjutan SDA. Sabri Kali Kayo, ninik mamak suku Sikumbang mengatakan “kalau dikatakan siapa yang paling berhak menjaga hutan, kami jauh lebih berhak karena jika ada bencana galodo kami yang terkena dampak. Karena itu pula masyarakat adat nagari Koto Malintang kami memiliki aturan-aturan sendiri dalam pemanfataan kayu.”
Pun jika dipakai logika negara bahwa titik penebangan adalah kawasan hutan cagar alam, masyarakat adat yang menebang kayu di hutan tidak dapat dipidana sepanjang tidak ditujukan untuk tujuan-tujuan komersil. Soal ini sudah dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi tahun 2014. Sebelumnya dalam Undang-Undang Nomor: 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Pengaturan sanksi Pidana bagi yang menebang hutan tanpa izin diatur dalam Pasal 50 Ayat (3) yang menyatakan : “Setiap orang dilarang menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki izin dari pejabat yang berwenang.” Akan tetapi Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor: 95/PUU-XII/2014 menyatakan Pasal 50 ayat (3) huruf e UU Kehutanan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia tahun 1945 “setiap orang dilarang: … e. menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang, dikecualikan terhadap masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial”.
LBH Padang menyampaikan keprihatinan yang mendalam terhadap korban dan masyarakat adat nagari Koto Malintang pada khususnya dan masyarakat adat nagari manapun di Sumatera Barat. Kasus ini dalam pandangan LBH adalah simbol bahwa marginalisasi terhadap masyarakat adat masih terus berlangsung.
Bahkan kasus ini berimplikasi secara serius pula terhadap hak-hak pendidikan anak. Anak perempuan Agusri Masnepi saat ini terpaksa harus putus sekolah sejak ayahnya di tahan. Tidak cukup ongkos untuk bolak balik sekolah, sementara dia sudah duduk di kelas 3 dan sebentar lagi harus ikut ujian. LBH Padang berharap Bupati, dinas-dinas terkait terutama dinas pendidikan, dinas sosial baik provinsi maupun kabupaten melakukan respon konkrit untuk menyelamatkan hak-hak pendidikan anak korban.
Padang, 20 November 2017
Hormat kami,
LBH Padang
Era Purnama Sari
Kuasa Hukum
Cp: 081210322745