Pers Rilis YLBHI
Atas putusan MK Nomor 56/PUU-XV/2017 Tentang Pengujian UU No 1/PNPS/1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama 23 Juli 2018
Perkara ini berawal dari Pemohon yang berpendapat Pasal 1, Pasal 2, Pasal 3 UU 1/PNPS 65 mengandung ketidakjelasan karena penilaian teradap menyimpang atau tidaknya pelaksanaan agama dan keyakinan tidak dijelaskan dalam UU ini sehingga melanggar hak-hak konstitusional yang dijamin UUD 1945.
Sementara YLBHI yang mengajukan diri sebagai Pihak Terkait, berpendapat pentingnya Pasal 1 dan Pasal 2 UU ini ditafsirkan oleh MK. Mengingat Pasal 1 dan Pasal 2 bermasalah, bertentangan dengan asas negara hukum dan mengandung ketidakpastian hukum.
YLBHI meminta agar Pasal 1 UU PNPS 65 dimaknai “Tidak bisa digunakan untuk meniadakan/membatasi hak setiap orang untuk bebas menganut agama dan kepercayaannya masing-masing, melakukan ibadah serta menjalankan/ mengamalkan agama dan kepercayaannya itu secara internal atau masing- masing”, dan YLBHI juga meminta agar Pasal 2 UU ini dimaknai “Bagi yang dituduh tersebut haruslah diberikan kesempatan melakukan pembelaan secara adil dan Keputusan Bersama tersebut adalah Keputusan Tata Usaha Negara (Beschikking) yang dapat digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara”
Walaupun UU ini pernah diajukan, MK dalam pertimbangannya menjelaskan bahwa permohonan ini tidak nebis in idem. Meskipun demikian MK dalam pertimbangannya banyak menggunakan dan mengutip kembali pertimbangan MK dalam putusan perkara No. 140 Tahun 2009. Padahal MK sendiri menyatakan permohonan ini berbeda dalam batu uji maupun alasan permohonan.
YLBHI menggarisbawahi pertimbangan MK bahwa persidangan ini bukan tentang Ahmadiyah, sebagaimana Hakim di persidangan telah berulang-ulang mengingatkan kepada Pihak terkait dan Ahli yang hadir bahwa pengujian ini bukan tentang Ahmadiyah. Sidang ini sesungguhnya tentang Hak Konstitusi warga negara khususnya tentang hak beragama dan beribadah sesuai agamanya itu serta hak menganut kepercayaan yang dijamin pasal 28E UUD 1945 & amandemennya.
Nalar dominan yang digunakan MK untuk menolak permohonan Pemohon adalah kebebasan internum beragama yaitu penafsiran perlu dibatasi untuk menjaga ketertiban publik dari adanya gangguan ketertiban masyarakat, bangsa bahkan negara.
Bahwa nalar ini artinya mengakomodasi kemungkinan adanya kelompok intoleran yang menggunakan kekerasan terhadap orang/kelompok yang dianggap menafsirkan secara berbeda dari mainstream.
Bahwa sesungguhnya terhadap Pemohon dalam hal ini JAI tidak pernah ada keputusan dari Pemerintah untuk menghentikan penafsiran yang dilakukannya. SKB berisi perintah untuk tidak menceritakan di depan umum mengenai penafsiran tersebut. Dalam kaitan dengan ini, putusan MK lebih buruk dari SKB terhadap JAI yang jelas melakukan pelanggaran HAM.
YLBHI juga menyayangkan MK sama sekali tidak mempertimbangkan dalil dan permohonan YLBHI dan Komnas Perempuan sebagai pihak terkait yang kedudukannya setara dalam ruang persidangan. MK juga tidak memperhatikan dan tidak mempertimbangkan ahli-ahli yang dihadirkan oleh YLBHI, Komnas Perempuan, serta ad informandum yang dikirimkan oleh beberapa Ahli dan lembaga. Padahal berdasarkan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor : 06/Pmk/2005 Tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang
Pada akhirnya, meskipun MK mengakui hak-hak beragama atau berkeyakinan di dalam putusannya ini, penggunaan nalar ketertiban umum dengan korban sebagai pemicu munculnya gangguan ketertiban umum tidak membantu hak korban atas keamanan diri dan keluarganya. Persis nalar yang digunakan MK inilah yang telah mencabut nyawa kelompok minoritas oleh kelompok intoleran atas nama penafsiran yang menyimpang.
Jakarta, 23 Juli 2018
Pengurus YLBHI
Asfinawati 08128218930
Muhamad Isnur 081510014395