Hari ini tepat sembilan tahun kematian aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Munir.
Lembaga Bantuan Hukum Banda Aceh mendesak pemerintah menggunakan momentum itu untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh pada masa konflik.
Direktur LBH Banda Aceh, Mustiqal Syah Putra mengatakan, penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu di Aceh harus dilakukan secara fair, transparan, objektif, dan tidak dipengaruhi oleh politik demi kepentingan hukum dan keadilan bagi korban.
“Peringatan ini dilakukan supaya bisa menjadi bahan cerminan kepada Pemerintah Aceh, Khususnya DPRA dalam penyusunan Qanun Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di Aceh,” ujar Mustiqal Syah di Banda Aceh, Sabtu (7/9/2013).
Senada dikatakan Kordinator Kontras Aceh, Destika Gilang Lestari. Dia menilai, pemerintahan SBY seharusnya sudah bisa mengungkap kasus Munir.
“Sembilan tahun sudah keadilan terus berlangsung suram karena fakta kebenaran ditutupi dan pelaku pembunuhan Munir masih bebas berkeliaran,” sebutnya.
Munir dinilai sebagai pelopor gerakan kemanusian yang sangat dibenci Pemerintah Orde Baru di bawah kekuasan Suharto. “Mereka penguasa yang telah semena-mena menindas, membunuh, dan membantai rakyat kecil mendapat perlawanan keras dari Munir,” tukasnya.
Munir, lanjut dia, tanpa lelah terus mencari fakta dan realita untuk mengungkap kasus-kasus pembantaian rakyat yang tidak berdosa, seperti dugaan pelanggaran HAM di Aceh. Sebagaimana diketahui, Aceh ketika itu ditetapkan sebagai Daerah Operasi Militer sejak 1990 hingga 1998 guna menghentikan perlawanan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
“Munir merupakan orang yang menentang Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) pada tahun 1998, Jenderal Wiranto. Munir melakukan itu karena Wiranto mengatakan bahwa tidak pernah terjadi pelanggaran HAM di Aceh,” tukasnya.
Tindakan itu tergolong berani karena masa itu tak banyak aktivis yang berani mengkritik kebijakan pemerintah dan militer.
Sumber : okezone.com