Pembubaran pertemuan keluarga dan anak-anak korban pelanggaran Ham tragedi 1965 di Wisma Santi dharma Godean,Sleman Yogyakarta yang dilakukan oleh Front Anti Komunis Indonesia (FAKI) dan Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan dan Putra-Putri TNI Polri (FKPPI) telah melanggar Hak berserikat dan berkumpul, sesuai apa yang telah diamanatkan didalam konstitusi pasal 28 UUD 1945.
Apalagi berdasarkan fakta dilapangan bahwa pembubaran pertemuan tersebut dilakukan dengan cara-cara kekerasan ini jelas termasuk tindakan pidana yang harus dipertanggungjawabkan oleh pihak-pihak yang melakukan kekerasan tersebut.
Ketua Yayasan LBH Indonesia Alvon Kurnia Palma memandang, tindakan kekerasan dan intimidasi dengan alasan apapun tidak dibenarkan apalagi atas dasar perbedaan suku, agama, ras dan ideologi.
“Tindakan kekerasan dan anarkisme oleh organisasi masyarakat (Ormas) seolah menjadi trend masa kini yang dibiarkan, dimana ini tidak sejalan dengan semangat demokrasi yang ada dinegeri ini. Suatu perbedaan antara suku,agama, ras dan ideologi antara orang yang satu dengan orang lain maupun antara kelompok satu dengan kelompok lain itu harus saling menghormati sebagai bentuk implementasi nilai-nilai Pancasila dan Kebhineka Tunggal Ikaan,”kata Alvon dalam keterangan pers yang diterima KBR68H, Selasa (29/10).
Menurut Alvon, kekerasan yang dilakukan oleh FAKI dan FKKPI ini tidak dapat dibiarkan begitu saja, tetapi harus direspon secara cepat dan tegas oleh Polri, agar tidak tumbuh subur dalam era demokrasi ini. Ketidaksepakatan terhadap konsep pemikiran/ide dapat disampaikan secara santun dan elegant sehingga tidak berujung pada tindakan-tindakan kekerasan dan anarkisme yang dapat menimbulkan kerugian bagi orang lain.
Kata dia, sikap ketidaksigapan dan ketegasan serta lambannya polri dan jajarannya dalam menangani kasus-kasus kekerasan oleh ormas-ormas pelaku kekerasan dan intimidasi ini kemudian mendukung suburnya pelegalan tindakan-tindakan kekerasan dan anarkisme sebagai salah satu instrumen untuk menyelesaikan sebuah persoalan. Padahal di sisi lain menurut pasal 2 Undang-Undang No 2 Tahun 2002 tentang Polri, Polri mempunyai fungsi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakkan hukum, perlindungan, penganyoman dan pelayanan kepada masyarakat.
“Jika ini dibiarkan oleh Polri maka dapat dikhawatirkan akan melunturkan nilai-nilai pencasila dan Kebhineka tunggal ikaan sehingga akan mengancam keutuhan Negara Kesatuan Repubilik Indonesia (NKRI). Tindakan intimidasi dan pelarangan yang dilakukan oleh FAKI dan FKPPI terhadap Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta (LBH Yogya) untuk memberikan bantuan hukum terhadap masyarakat yang membutuhkan bantuan hukum sangat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-undang No.16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum,”lanjutnya.
Ada beberapa point di dalam Pasal 4 Undang-Undang No.16 Tahun 2011 yang menjelaskan antara lain bahwa penyelenggaran bantuan hukum bertujuan untuk menjamin dan memenuhi hak bagi Penerima Bantuan Hukum untuk mendapatkan akses keadilan dan mewujudkan hak konstitusional segala warga negara sesuai dengan prinsip persamaan kedudukan didalam hukum.
Alvon menambahkan, sikap yang ditegaskan oleh Lembaga Bantuan Hukum Yogya untuk mendampingi korban kekerasan ini sebagai salah satu bentuk implementasi konstitusi dan Undang-undang No. 16 Tahun 2011, apalagi LBH Yogya termasuk Organisasi Bantuan Hukum (OBH) yang terverifikasi sebagai organisasi pemberi bantuan hukum dalam Kemenkumham.
Atas tindakan yang dilakukan FAKI tersebut, YLBHI engecam tindakan pembubaran kegiatan yang disertai kekerasan terhadap Keluarga korban pelanggaran Ham tragedi 1965 yang dilakukan FAKI dan FKPPI. YLBHI juga mendesak Kapolri dan jajarannya untuk mengusut tuntas terkait kejadian pembubaran diskusi yang disertai kekerasan dan intimidasi terhadap LBH Yogya. Terakhir, YLBHI mendesak Menteri Dalam Negeri untuk membubarkan ormas-ormas yang melakukan tindakan – tindakan kekerasan terhadap masyarakat atas dasar apapun.
Sumber : portalkbr.com