Peraturan pengetatan remisi melalui Peraturan Pemerintah Nomor 99/2012 tidak melanggar hak-hak para narapidana. Peraturan tersebut hanya mengatur syarat narapidana untuk mendapatkan remisi dimaksud. Demikian Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM, Zainal Arifin Mochtar di YLBHI, Jakarta, Selasa (23/7).
“Jadi harus dilihat apakah keluarnya peraturan tersebut menghilangkan remisi atau tidak?. Peraturan hanya menggolongkan napi-napi berdasarkan jenis kejahatannya untuk memperoleh remisi,” tegasnya.
Dia menandaskan, justru dengan tidak adanya peraturan tersebut mengakibatkan terjadinya diskriminasi remisi antar narapidana. Pemberian remisi harus dibedakan terhadap tingkat kejahatannya.
“Masa narapidana maling sandal dan koruptor triliunan remisinya sama? Perlakuannya sama?” papar Zainal.
Dia menjelaskan jika tidak ada pengetatan remisi maka koruptor akan merasa lebih enak. Salah satunya seperti yang dialami mantan Jaksa Urip yang juga terpidana korupsi.
“Kita kasus Urip. Rajin remisinya. Berarti Urip hanya dipenjara sembilan tahun dari vonis 20 tahun penjara,” tegas Zainal.
Sumber: suaramerdeka.com