Putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan permohonan uji materi Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 63/M-IND/PER/8/2015 tentang Peta Jalan Industri Hasil Tembakau Tahun 2015-2020 menuai apresiasi. Salah satunya datang dari Solidaritas Advokat Publik untuk Pengendalian Tembakau (Sapta) yang menilai, putusan tersebut merupakan preseden yang baik.
“Putusan MA merupakan kemajuan bagi hukum di Indonesia, khususnya terkait dengan pembuatan kebijakan tentang pertembakauan. Putusan ini bisa menjadi fondasi bagi gugatan tentang rokok selanjutnya,” kata aktivis Sapta, Julius Ibrani dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa (13/12).(Baca Juga: Rokok Langgar UU Perlindungan Konsumen, Ini Penjelasan YLKI)
Julius mengatakan,majelis hakim agung telah menerima seluruh permohonan yang diajukan pemohon. Hakim agung juga menerima legal standing seluruh pemohon yang terdiri atas korban rokok, aktivis perlindungan anak, dokter, aktivis pengendalian tembakau, konsultan kesehatan dan pekerja seni.
Menurut Julius, permohonan uji materi yang dikabulkan seluruhnya oleh majelis hakim agung tersebut menunjukkan MA menerima logika hukum yang diajukan pemohon. “Pemohon mengajukan logika produksi rokok yang masif akan mendorong konsumsi yang masif. Konsumsi yang masif akan menimbulkan kerusakan kesehatan yang masif,” tuturnya.
Putusan MA Nomor 16P/HUM/2016 mengabulkan seluruh permohonan uji materi terhadap Permenperin tentang Peta Jalan Industri Hasil Tembakau Tahun 2015-2020. MA menyatakan Permenperin tersebut bertentangan dengan lima peraturan perundangan yang lebih tinggi, yaitu UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.UU Nomor 23 Tahun 2002tentang Perlindungan Anak dan UU Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai. (Baca Juga:Tarif Cukai Rokok 2016 Dinilai Kecil)
Uji materi dimohonkan oleh MH Panjaitan, Hery Chariansyah, Kartono Mohamad, Hias Dwi Untari Soebagio, Widyastuti Soerojo dan Elysabeth Ongkojoyo yang memberikan kuasa kepada Sapta yang terdiri atas 15 pengacara, di antaranya, Todung Mulya Lubis, Tubagus Haryo Karbyanto, Ari Subagio, Julius Ibrani dan Paticia Rinwigati.
Untuk diketahui, Permenperin yang diterbitkan pada Agustus 2015 itu menargetkan adanya peningkatan produksi rokok dengan pertumbuhan 5-7,4 persen per tahun sampai tahun 2020. Peningkatan ini membuat total produksi rokok akan menjadi 524,2 miliar batang pada tahun 2020.
Jika perkiraan penduduk Indonesia di tahun 2020 adalah 270 juta orang, maka di tahun itu setiap orang (anak-anak maupun dewasa) akan merokok 1900-an batang rokok per tahun. Atas persoalan ini, muncul gagasan uji materi Permenperin tersebut. Bagi para pemohon, aturan pro kepada rokok ini jelas bertujuan meningkatkan produksi, secara tidak langsung akan mendorong peningkatan pemasaran atau penyerapan hasil produksi sehingga pada akhirnya meningkatkan konsumsi.
Peningkatan konsumsi ini dinilai para pemohon untuk diwaspadai karena tren menunjukan konsumen rokok adalah konsumen domestik sehingga produksi yang tinggi akan menyasar pada anak dan masyarakat Indonesia. Padahal, konsumesi rokok memiliki konsekuensi yang sangat membahayakan bagi masa depan Indonesia, bukan saja terkait dampaknya terhadap kesehatan, namun juga ekonomi, sosial dan lingkungan secara luas. (Baca Juga:Beri Penghargaan Industri Rokok, Menkeu Dinilai Langgar Aturan Ini)
“Kita semua harus memberi apresiasi kepada Mahkamah Agung yang pada akhirnya mengabulkan keberatan kita. Putusan MA agar mencabut Peta Jalan IHT (Industri Hasil Tembakau) adalah keputusan yang tepat dan sangat berpengaruh pada masa depan bangsa ini nantinya,” ujar Todung Mulya Lubis.
Sumber : hukumonline