Koalisi organisasi masyarakat sipil mengecam pengesahan UU Ormas yang telah disahkan DPR kemarin. Menurut anggota koalisi dari YLBHI, Alvon Kurnia Palma, pengesahan UU Ormas itu terjadi di tengah banyaknya penolakan dari berbagai elemen masyarakat.Termasuktiga fraksi yaitu PAN, Gerindra dan Hanura yang kalah saat pemungutan suara. Mengacu kondisi itu, Alvon menilai DPR tidak peka menangkap aspirasi masyarakat secara utuh.
Alvon menyebut UU Ormas sudah bermasalah sejak awal pembahasannya. Adanya penolakan tiga fraksi memperjelas hal tersebut. Bahkan Alvon melihat masalah UU Ormas sudah terendus sejak naskah akademiknya digulirkan pada tahun 2011. Dalam naskah akademik RUU Ormas, sudah terlihat anasir adanya ketentuan yang bakal menimbulkan tumpang tindih dengan peraturan lain. Sayangnya, peringatan ini tidak digubris DPR dan pemerintah.
MenurutAlvon implementasi UU Ormas akan menciptakan kerancuan hukum karena mencampuradukkan Yayasan dan Perkumpulan dalam pengertian Ormas. Padahal Yayasan dan Perkumpulan sudah diatur dalam peraturan tersendiri. Jika peraturan itu dinilaibutuh perbaikan, harusnya pemerintah dan DPR tidak menerbitkan UU baru, tapi merevisinya. “Jangan malah melahirkan peraturan baru yang mengakibatkan kekacauan kerangka hukum pengaturan organisasi yang dengan gampang disalahpahami pada level praktiknya nanti,” katanya dalam jumpapers di kantor YLBHI Jakarta, Rabu (3/7).
AnggotaKoalisi dari Setara Institute, Hendardi, mengatakan koalisi berulang kali mengingatkan bahwa UU Ormas akan digunakan pemerintah sebagai instrumen untuk mencampuri hak masyarakat untuk berserikat. Pasalnya, lewat peraturan itu pemerintah melakukan pembatasan, sehingga menentukan apakah masyarakat dapat berserikat atau tidak. Teknisnya nanti, dilakukan lewat mekanisme pendaftaran dan lain sebagainya seperti yang diatur dalam UU Ormas.
Hendardi juga menyesalkan pernyataan anggota DPR yang menyebut masyarakat yang tidak sepakat UU Ormas untuk mengajukan judicial review (JR) ke Mahkamah Konstitusi. Menurut Hendardi, anggota dewan tidak sepatutnya berkata seperti itu karena pembahasan UU Ormas sudah dilakukan selama dua tahun dan menggunakan uang rakyat. Ketimbang menyuruh masyarakat melakukan JR, Hendardi mengatakan DPR harusnya sadar diri kalau UU Ormas tidak dibutuhkan masyarakat dan sudah semestinya pembahasannya dihentikan.
Hendardi menyebut koalisi mencatat ada 22 anggota Pansus RUU Ormas yang mencalonkan diri dalam Pemilu 2014. Sebagai salah satu tindak lanjut, koalisi akan mengkampanyekan nama-nama tersebut kepada masyarakat agar tidak dipilih pada Pemilu Legislatif yang akan datang. “Kami akan melancarkan kampanye di berbagai daerah pemilihan agar masyarakat tidak memilih kembali mereka,” tegasnya.
Sementara, anggota koalisi dari Yappika, Fransisca Fitri, mengatakan koalisi sudah memberi masukan sejak RUU Ormas masih dibahas di Baleg. Ketika itu, perempuan yang disapa Iko itu melanjutkan, sudah disampaikan berbagai persoalan RUU Ormas, mulai dari kesalahan paradigma sampai hal teknis. Walaupun DPR menerima keterangan sejumlah kelompok masyarakat, tapi hal tersebut sifatnya prosedural belaka.
Terkait pernyataan anggota Pansus DPR yang menyebut UU Ormas ditujukan sebagai regulasi payung, Iko mengatakan hal tersebut tidak tepat. Pasalnya, sudah terdapat peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan pengaturan ormas. Misalnya, pemerintah dan DPR selama ini mencurigai dana asing yang digunakan ormas, bagi Iko hal itu sudah diatur dalam peraturan keuangan yang ada. Seperti peraturan yang diterbitkan Kemenkeu soal dana hibah dari luar negeri. “Walau UU Ormas sudah disahkan, tapi terlihat jelas dipaksakan karena sejak awal ketentuan yang termaktub di dalamnya tidak jelas,” urainya.
Sedangkan anggota koalisi dari Imparsial, Poengky Indarti, mengatakan UU Ormas menemani peraturan lain yang sifatnya mengendalikan dan mencurigai organisasi masyarakat sipil yaitu UU Intelijen dan UU Penanganan Konflik Sosial (PKS). Misalnya, dalam UU Ormas, organisasi masyarakat sipil yang berasal dari dalam atau luar negeri harus melewati mekanisme clearinghouse untuk mendapatkan izin operasional.
Kemudian, akan diberlakukan proses indoktrinasi ala orde baru lewat sistem informasi yang nanti dikelola Kemendagri. Tak ketinggalan Poengky menjelaskan soal sanksi, RUU Ormas bersifat represif. Misalnya, ada penghentian aktivitas dan pembubaran ormas yang dilakukan di luar mekanisme pengadilan. “Itu proses yang bakal dilakukan pemerintah lewat UU Ormas untuk membungkam gerakan masyarakat sipil,” tukasnya.
Tak ketinggalan anggota koalisi dari Elsam, Zainal Abidin, mengatakan UU Ormas memberi ancaman serius terhadap hak-hak konstitusional masyarakat karena hak berserikat diberangus. Pasalnya, pembatasan hak berserikat yang termaktub dalam UU Ormas dirasa tidak sejalan dengan prinsip HAM. Harusnya, pemerintah menjamin masyarakat untuk menggunakan hak berserikat dan bebas dari gangguan pihak ketiga. Sayangnya, hal itu tidak dilakukan dan yang terjadi malah sebaliknya. “Pemerintah dan DPR gagal memaknai HAM secara benar,” ujarnya.
Melihat adanya sejumlah UU yang punya semangat sama dengan UU Ormas, yaitu membatasi hak masyarakat, Zainal memperkirakan ke depan arah pemerintahan Indonesia akan kembali seperti masa orde baru yaitu otoritarian. Ujungnya, instrumen hukum, seperti UU, akan digunakan untuk mengebiri hak-hak masyarakat. Ketimbang UU Ormas dan peraturan sejenis, Zainal melihat ada peraturan penting yang lebih layak diperhatikan pemerintah, misalnya konvensi anti penghilangan paksa yang sudah diratifikasi. “Kenapa itu tidak diurus, padahal penting untuk menjamin hak masyarakat. Ini menunjukan watak pemerintah dan DPR otoriter,” ucapnya.
Menanggapi UU Ormas, anggota koalisi dari Walhi, Khalisah Khalid, melihat ada ketimpangan luar biasa yang dilakukan pemerintah dan DPR. Pada satu sisi investasi asing dibiarkan leluasa untuk masuk, tapi di sisi lain pemerintah mengekang hak berserikat masyarakat. Ia menengarai pembatasan hak berserikat itu didorong oleh investor yang menginginkan stabilitas keamanan. “Ini menunjukan ketimpangan karena kebebasan berserikat masyarakat tidak diakomodir. Kami akan JR UU Ormas ke Mahkamah Konstitusi,” katanya.
Anggota koalisi dari KontraS, Haris Azhar, melihat ada “kecemburuan” partai politik (Parpol) terhadap organisasi masyarakat sipil, mulai dari LSM sampai serikat pekerja. Pasalnya, di mata rakyat organisasi masyarakat sipil lebih populer ketimbang Parpol karena memperjuangkan kepentingan rakyat.
Sementara koalisi dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Ikbal, mengatakan serikat pekerja sedang mempersiapkan untuk melakukan mogok kerja nasional sebagai upaya melawan UU Ormas dan kebijakan pemerintah lain yang menindas rakyat. Menurutnya, definisi yang luas dalam RUU Ormas membuat serikat pekerja terikat dengan ketentuan yang ada dalam regulasi tersebut. Padahal, serikat pekerja sudah diatur dalam peraturan khusus yaitu UU Serikat Pekerja.
Tapi, dengan UU Ormas, posisi serikat pekerja akan kembali seperti masa orde baru, dimana pencatatan dilakukan bukan di dinas ketenagakerjaan, tapi Kesbangpol, Kemendagri. Menurutnya, pemerintah dan DPR dengan dukungan pengusaha menginginkan agar serikat pekerja mengendurkan gerakannya. Terutama ingin mengintervensi hak mogok kerja yang secara konstitusional dimiliki serikat pekerja. “Dengan diterbitkannya UU Ormas, ada potensi besar ke depan mogok kerja akan dilarang,” pungkasnya.
sumber : hukumonline.com