Negara Republik Indonesia benar-benar surga bagi industri rokok. Mayoritas pemilik perusahaan rokok di Tanah Air ini dikuasai perusahaan asing.
Meski rokok mengandung zat adiktif (ringan) yang menyebabkan kecanduan seperti halnya narkoba, akan tetapi produksi dan penjualan rokok masih dinilai legal. Berbagai bentuk iklan rokok juga bebas terpasang di seluruh pelosok negeri, baik melalui media konvensional maupun dalam berbagai bentuk sponsorship. Termasuk pemasangan reklame di sekitar sekolah.
Seperti dikutip Halloapakabar.com, Fakta-fakta yang merugikan dari rokok dan industri rokok hingga masih lembeknya aturan atau kebijakan pemerintah mengenai rokok ini, menjadi bahan diskusi dalam workshop bertema “mencari jejak akuntabilitas industri tembakau” yang digelar Kantor Berita Radio KBR bekerjasama dengan Komisi Nasional Penanggulangan Tembakau (Komnas PT) di Jambuluwuk Resort, Ciawi, Kabupaten Bogor, Selasa-Rabu (22-23/3/2016).
Workshop ini menghadirkan sedikitnya delapan orang pemateri. Yakni Widyastuti Soerojo dan Hendriyani dari Universitas Indonesia, Hery Chariansyah dari Rumah Kajian dan Advokasi Kerakyatan (RAYA Indonesia), Julius Ibrani (Koordinator Bantuan Hukum YLBHI), dr. Eva (UI), Jalal (aktivis antitembakau) dan Mardiyah Chamim dari Tempo Institute.
Ketua Bidang Hukum YLBHI,Julius Ibrani, mengungkapkan, untuk melanggengkan usahanya perusahaan industri rokok di Indonesia telah melakukan upaya keras hingga menghalalkan berbagai cara.
“Pendekatan yang mereka lakukan massif dan terstruktur. Bahkan mereka tak segan-segan masuk ke tataran internal birokrasi maupun legislatif untuk terus berusaha mempengaruhi segala aturan dan kebijakan tentang tembakau. Mereka bahkan bisa memasukkkan orangnya dalam rapat-rapat tertutup di Badan Legislasi dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang maupun di daerah dalam pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) yang mengatur industri rokok atau tembakau. Aneh, wartawan saja sulit masuk,” ungkap Julius.
Oleh karenanya, pria yang akrab disapa Bang Ijul ini mengatakan, tak aneh jika belum lama uni muncul kasus ada ayat yang hilang dalam RUU Tembakau yang dibahas di Senayan. “Kami mencurigai ada biaya politik tinggi dalam setiap proses legislasi di Senayan khususnya dalam pembahasan industri rokok. Salah satu cirinya dengan hilangnya kata ‘zat adiktif’ dan munculnya wacana kretek sebagai warisan budaya bangsa,” tegasnya.
Saat itu, ia juga memperlihatkan kepada awak media bocoran dokumen rahasia para eksekutif perusahaan rokok tentang mapping dalam mempengaruhi legislator maupun birokrat. “Kami telah melaporkan dugaan praktik korupsi di Badan Legislasi ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Saya harap KPK bisa bergerak cepat,” ujarnya.
Akrabnya pemerintah dan industri rokok juga dicirikan dengan sejumlah kejanggalan lain. Hery Chariansyah dari RAYA Indonesia membeberkan,
pemerintah RI telah membuka kran lebar-lebar bagi industri untuk menaikkan produksi rokok melalui Peraturan Menteri Nomor 63 Tahun 2015 tentang Roadmap Produksi Industri Hasil Tembakau, targetnya menjadi 224,2 miliar batang pada 2020. Padahal sebelumnya berdasar Permen No. 117/2009, hanya 260 miliar batang. “Peraturan menteri ini telah kami somasi. Tapi kami hanya dipandang sebelah mata,” akunya.
Padahal, kata Hery, masyarakat sangat dirugikan oleh industri rokok. “Sekitar 240.818 orang Indonesia meninggal per hari akibat perokok aktif atau pasif atau 59 orang per hari. Sedangkan di dunia membunuh enam juta orang per tahunnya atau satu kematian tiap detik. Angka kesakitan akibat rokok di Indonesia mencapai 962.403 orang atau 2.636/hari. Jumlah perokok aktif 67 juta jiwa dan perokok berusia di bawah 19 tahun 41 juta lebih,” bebernya diamini dr. Eva dari UI.
Widyastuti Soerojo menjelaskan, jika selama ini dielu-elukan pemasukan cukai rokok sangat besar mencapai Rp113 triliun (2013), hal itu kebohongan besar. “Karena pengeluaran makro akibat rokok mencapai Rp378,75 triliun. Pengeluaran ini terbagi atas pembelian rokok, hilangnya produktivitas akibat cacat dan kematian usia muda dan rawat medis,” katanya.
Yang lebih miris lagi, kata dia, biaya cukai dari setiap batang rokok dibebankan kepada konsumennya. Karena cukai beda dengan pajak, cukai dibebankan kepada produk-produk berdampak negatif sebagai pengendalian seperti rokok dan minuman keras.
“Cukai rokok di Indonesia termurah di dunia. Anehnya UU 39/2007 hanya menetapkan maksimal 57 persen dari Harga Eceran Tetap (HET). Padahal rekomendasi WHO minimal 70 persen. Menaikkan harga rokok salahsatu solusi. Di New York harga rokok sudah mencapai Rp150 ribu/bungkus, di Selandia Baru apalagi,” timpal dr. Eva.
Sumber : hallobogor