YAYASAN Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai, Mahkamah Konstitusi (MK) terkesan tidak mau diawasi. Pasalnya, MK telah mengabulkan uji materi UU No.4/2014 tentang Penetapan Perppu No.1/2013 Perubahan Kedua atas UU MK.
Direktur Advokasi YLBHI Bahrain menyatakan, dengan putusan MK tersebut, maka substansi penting dalam UU No.4/2014 itu otomatis batal. Dikatakannya, pengawasan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK) sebagai bentuk konkrit dari penyelamatan MK tidak lagi berlaku. Bahkan, kata dia, pengawasan Dewan Etik internal juga dihilangkan. “MK terkesan tidak mau diawasi,” ujarnya saat dikonfirmasi kabar3 lewat telepon seluler, Sabtu (15/2).
Selain itu, kata Bahrain, ketentuan syarat bagi calon hakim MK agar minimal tujuh tahun tidak aktif di partai politik (Parpol) juga dibatalkan. Padahal, lanjut dia, pembatasan tersebut bertujuan untuk menjaga independensi hakim konstitusi agar tidak terjebak pada kepentingan golongan atau kelompok. “Kami hanya ingin agar MK ini berjalan dengan baik,” kata dia menambahkan.
Untuk itu, Bahrain mendorong agar DPR, Presiden, dan Mahkamah Agung membuat mekanisme internal dalam rekrutmen hakim MK yang berlandaskan transparansi dan akuntabilitas. Pasalnya, hakim MK bukan malaikat atau manusia setengah dewa yang tidak perlu diawasi.
Dikatakannya, paling tidak kasus mantan Ketua MK Akil Mochtar bisa dijadikan pelajaran agar wibaya MK tidak tercoreng. Sebab, kata dia, ke depan MK diharapkan menjadi tombak penegakan hukum dan pengawalan konstitusi.
Sebelumnya, putusan MK telah menolak materi undang-undang (UU) No.4/2014 tentang Penetapan Perppu No.1/2013 tentang Perubahan Kedua atas UU MK. Dengan demikian, MK kembali pada UU No.24/2003.
Sumber : kabar3.com